Mengatakan agama sebagai sumber kekerasan agaknya sulit diterima, sebab dimana-mana agama selalu mengklaim sebagai pembawa damai. Namun, tidak sedikit sosiolog yang banyak mengkaji mengenai agama, mengatakan bahwa agama sering menjadi sumber atau pemicu kekerasan.
T.K. Oommen, sosiolog asal India, misalnya, pernah menyimpulkan bahwa kekerasan agama bukan hanya disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, politik, dan psikologi, tetapi juga karena agama sendiri menyediakan rujukan yang cukup banyak untuk perilaku semacam itu. Oommen melakukan penelitiannya terhadap semua agama besar dunia, termasuk Islam dan Kristen (T.K. Oommen, Religion as Source of Violence, 2001).
Jadi, mengatakan agama sebagai sumber kekerasan memang paradoks. Umumnya kelompok agamawan akan menolak kesimpulan seperti yang diambil oleh Ommen. Tetapi kalau kita melihat atau mengkaji secara objektif, kita memang harus jujur bahwa agama sering menjadi biang kekerasan, apapun alasannya. Entah untuk menegakkan agama itu sendiri ataukah untuk melawan ketidakadilan. Kekerasan, dimanapun, kapanpun, oleh siapapun, dan dengan alasan apapun, tetaplah sebuah kekerasan, yang tentu saja dapat menyebabkan jatuhnya korban.
Radikalisme dan Fundamentalisme Agama?
Ketika gagasan mengkaji kekerasan yang bersumber dari agama dilontarkan oleh kalangan sosiolog dan peneliti agama lainnya, maka banyak yang mencoba memfokuskan penelitian mereka pada dua gerakan keagamaan yang cukup populer, yaitu radikalisme dan fundamentalisme. Bahkan, tidak sedikit yang kemudian mengidentikkan radikalisme dan fundamentalisme sebagai gerakan kekerasan.
Pertama, harus kita pahami bahwa radikalisme bukanlah sebuah gerakan keagamaan, tetapi, yang ada adalah gerakan keagamaan yang cenderung radikal, tetapi tidak mengklaim sebagai radikalisme. Radikalisme awalnya merupakan gerakan politik yang lahir di Inggris pada tahun 1802. Radikalisme di Inggris dipicu oleh Partai Liberal yang mencanangkan gerakan reformasi. Karena itu, pada tahun itu, kata ini pertama kali muncul dan dipahami sebagai political sense of ‘reformist’ yang menurut dugaan, perjuangannya adalah melakukan perubahan dari akar (kata ‘radikal’ berasal dari kata radix dalam bahasa Latin, artinya ‘akar’ atau ‘kaki gunung’; secara umum diartikan ‘fondasi’ atau ‘dasar’).
Pada tahun 1921, istilah ini mulai dipahami sebagai “gerakan yang tidak konvensional”, dan pada era 1970-an, istilah ini dipahami sebagai gerakan tanpa kontrol. Sekarang, radikalisme selalu diidentikkan dengan kekerasan. Karena itu, masyarakat umum seringkali menyama-nyamakan antara radikalisme dan militansi agama.
Jika kita mengembalikan radikal pada arti awalnya, yaitu “melakukan perubahan dari akar” atau “perubahan dari dasar”, maka banyak gerakan keagamaan bisa dikatakan radikal, dan tidak semua gerakan itu mengedepankan unsur kekerasan.
Kedua, fundamentalisme memang bermula dari sebuah gerakan Protestan yang dimulai pada sekitar tahun 1920-1925 di Amerika paska-Great Awakening. Gerakan ini dimulai oleh William Jennings Bryan. Namun, yang secara resmi menggunakan istilah ‘fundamentalisme’ adalah Curtis Lee Laws, editor “The Watchman Examiner”, sebuah surat kabar Gereja Baptis (penggunaan istilah ini sendiri menimbulkan kontroversi di kalangan Kristen, serta memperuncing perdebatan di antara kelompok modernis dengan kelompok ‘fundamentalis’). Karena itu, gerakan ini awalnya terjadi di kalangan Konvensi Baptis Amerika bagian Utara sebagai upaya untuk membendung gerakan Kristen modernis di Eropa (khususnya liberalisme di Jerman).
Poin utama penekanan gerakan ini adalah pada pemahaman scriptural inerrancy (kitab suci tidak mungkin salah). Mereka menolak kajian-kajian kitab suci secara kritis yang dilakukan oleh para sarjana Kristen di Eropa. Menurut mereka, kajian-kajian tersebut dapat menyesatkan umat.
Sejak berdirinya, gerakan ini tidak pernah mengedepankan kekerasan, malahan sebaliknya, mereka anti-kekerasan. Namun, sekarang, banyak orang menidentikkan kekerasan dengan fundamentalisme. Menurut saya, baik radikalisme maupun fundamentalisme bisa dikatakan sebagai pemicu kekerasan, tetapi bukan berarti bahwa keduanya identik dengan kekerasan. Kekerasan bisa saja muncul dari mana saja, termasuk kedua gerakan tersebut.
Disfungsi Agama?
Lalu, apa yang menjadi pemicu utama munculnya kekerasan dalam agama?
Benarkah kekerasan lahir akibat adanya disfungsi agama? Agak sulit untuk sampai pada kesimpulan itu, sebab “disfungsi” itu sendiri secara harafiah berarti “tidak berfungsi” atau “kehilangan fungsi.” Fungsi apa? Bukankah tidak sedikit orang yang melakukan kekerasan atas nama agama justru mengklaim menjalankan fungsi agama???
Seringkali, kita terjebak dengan pemikiran-pemikiran tertentu mengenai agama, padahal agama itu tidak tunggal. Dalam setiap agama terdapat banyak sekali aliran pemikiran. Bahkan, masing-masing aliran pemikiran, memiliki kelompok-kelompok pemikiran tertentu. Pada era sekarang, pengelompokan agama berdasarkan istilah-istilah tertentu sudah tidak relevan lagi, sebab arus keterbukaan informasi telah mencampuradukkan pemahaman di dalam masyarakat.
Tidak heran jika dalam sebuah keluarga yang bergereja mainstream akan kita jumpai pemahaman yang kharismatik. Di antara jemaat yang Lutheran, akan kita jumpai pemikiran-pemikiran Calvin, dan di antara jemaat yang Calvinis, banyak yang justru berteologikan Armenianis. Barangkali hanya tata ibadahnya yang membedakan.
Setiap orang bisa saja mendefinisikan fungsi sebuah agama, dan setiap orang bisa saja menjalankan fungsi agama menurut definisinya, dengan cara yang dipahaminya. Saya mungkin lebih sreg menyebutnya malfungsi agama. Sebab, prefiks mal- dalam Bahasa Perancis, yang berakar dari kata male- dalam Bahasa Latin merujuk pada sesuatu yang kurang baik.
Artinya, malfungsi agama merujuk pada upaya menjalankan fungsi-fungsi agama dengan cara-cara yang kurang baik (tentu saja ‘kurang baik’ dalam ukuran umum, bukan ‘kurang baik’ dalam definisi agama, sebab setiap agama dapat mendefinisikan ‘kurang baik’ menurut pemahamannya).
Ada banyak faktor yang dapat memicu munculnya kekerasan dari sebuah agama, baik itu kekerasan yang dilakukan oleh individu maupun oleh kelompok, di antaranya:
(1) Pemahaman yang berbeda tentang kitab suci. Ada yang memahami kitab suci secara harafiah, ada juga yang mengkaji makna intinya. Keduanya, dapat saja memunculkan gerakan kekerasan atas nama agama, tergantung bagaimana ia memahaminya;
(2) Superioritas agama. Artinya, memandang agama kita lebih baik dari agama yang lain. Sikap yang berlebihan dapat memunculkan pandangan bahwa agama lain tidak layak eksis, sehingga harus dijadikan sama atau dimusnahkan. Sikap ini juga dapat memicu keinginan menjadikan agamanya sebagai penguasa;
(3) Klaim kebenaran mutlak. Artinya, memandang agama kita lebih benar dari agama yang lain. Sikap yang menganggap bahwa kebenaran hanya ada dalam agama sendiri;
(4) Pengkultusan pioner (pendiri) agama atau pemimpin agama. Sikap ini adakalanya baik namun bisa juga berdampak sebaliknya, apalagi jika tidak sepenuhnya mengenal tokoh yang dikultuskan, misalnya sang nabi. Karena sang nabi melakukan perang, maka umat pun harus mengikutinya;
(5) Ketundukan total pada doktrin agama. Di satu sisi hal ini postif, namun di sisi lain dapat berdampak negatif, sebab doktrin setiap agama berbeda-beda, dan di dalam setiap agama juga terdapat banyak doktrin. Doktrin yang mengatakan bahwa “mati demi agama adalah surga” (atau sejenis itu), jelas dapat berdampak pada lahirnya militansi-militansi agama yang siap mati dengan cara apapun; dan
(6) Kesetiaan yang berlebihan pada agama. Hal ini terkait dengan poin 3-5. Sistem negara yang amburadul, masyarakat yang mengalami dekadensi moral, atau perubahan global yang terlalu drastis dianggap mengancam kesucian agamanya. Karena itu, harus ada perubahan kembali kepada ajaran agamanya. Sikap ini, jika terlalu berlebihan dapat menimbulkan kenekadan dalam diri seseorang untuk menghalalkan segala cara agar niatnya tercapai.
Masih banyak faktor lain yang dapat menjadi penyebab, yang muncul dari dalam agama itu sendiri, di samping tentu saja ada faktor-faktor eksternal yang menjadi pemicu lainnya, misalnya: politik (keinginan berkuasa, kebosanan kepada pemimpin politik, maupun politik global), ekonomi (kesenjangan global), budaya (kultur lokal yang memiliki dimensi kekerasan), psikologi (gangguan psikis), pendidikan (pendidikan yang minim), dan banyak lagi.
Solusinya?
Tidak mudah untuk menyelesaikan persoalan ini, sebab hampir semua ajaran agama telah mengkristal dalam umatnya masing-masing. Ibarat candu, agama telah menyatu dengan darah sebagian besar umatnya, sehingga kesakitan-kesakitan yang ditimbulkan oleh agama justru terasa menyenangkan untuk dinikmati. Ia tidak lagi dianggap sebagai kesakitan oleh saraf otak pemeluknya.
Kalau sudah begini, jalan keluarnya akan rumit. Saya termasuk yang pesimis bahwa agama dapat membawa perubahan ke arah yang positif, kecuali jika kita mau ikhlas membatasi fungsi agama pada dirinya sendiri. Tetapi, selama agama masih pingin mengambil fungsi di setiap lini kehidupan, maka agama tetap akan menjadi bencana.
Perubahan mendasar yang bisa kita mulai adalah pencerahan pemikiran. Menurut saya, kita tidak bisa lagi mengharapkan pencerahan pemikiran itu pada generasi-generasi tua. Peluang paling besar justru terletak pada generasi-generasi muda. Bukan berarti tidak perlu mencerahkan pemikiran generasi tua, tetap perlu, tapi tidak bisa menjadi harapan utama.
Karena itu, hasil dari sebuah perubahan, baru akan terasa dalam beberapa generasi kemudian. Pada saat itu, “mungkin” agama benar-benar sudah mendiami ruangannya yang sebenarnya, tidak lagi lalu-lalang di ruangan lain, apalagi mem-bikin repot yang lain. Lalu, apakah agama mesti dimusnahkan? Tentu tidak! Bakteri yang merugikan saja bisa diolah menjadi bermanfaat bagi tubuh manusia. Tergantung siapa yang mengelolah dan untuk siapa dia diolah. []
sampai kapanpun, fundamentalisme agama tidak akan pernah mati dan fundamentalisme sendiri akan memperbaiki, memodernkan dirinya sesuai dengan perkembangan jaman.
BalasHapusentahlah, kalau kekerasan dalam agama itu perlu, apa kita hendak melupakan hidayah tuhan? dan apa tuhan juga butuh dibela?