Sabtu, 18 Juli 2009
Hikmat dan Pengertian (Amsal 4:7)
Amsal ini berbicara tentang apa yang terutama yang harus kita peroleh dalam hidup ini, sekaligus rahasia bagaimana memahami setiap rancangan TUHAN dalam hidup ini.
Pada bagian pertama dikatakan “reshith khokhma qene khokhma.” Kalimat ini bisa berarti “yang pertama dari hikmat adalah perolehlah hikmat!” (band. terjemahan TB-LAI). Artinya, hikmat (khokhma) hanya bisa diperoleh dengan jalan memperoleh hikmat itu sendiri. Tidak ada cara lain selain memintanya kepada TUHAN.
Kamis, 16 Juli 2009
Meraih Kebahagiaan Sejati (Mazmur 1:1)
Rabu, 01 Juli 2009
Kembali ke Akar?
Di sisi lain, lepas dari akar dapat bermakna positif bagi kekristenan itu sendiri, sebab dengan cara itu, kekristenan dapat bertumbuh sendiri sebagai agama dan paradigma yang terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Sisi inilah yang diperjuangkan oleh sebagian kaum liberalis dan humanis Kristen melalui pendekatan-pendekatan sosio-antropologis, psikologis dan filosofis kekristenan.
Namun, di sisi lain, lepas dari akar dapat menjadi bumerang bagi kekristenan. Kekristenan dapat bertumbuh sebagai agama dan paradigma yang tidak berakar, sehingga dapat dengan mudah diombang-ambingkan oleh derasnya arus perubahan zaman. Ia dapat bertumbuh sebagai suatu agama sinkretis atau agama yang merupakan produk dari zaman modern, yang semata-mata mengikuti saja apa yang dituntut oleh zaman. Sisi ini diperjuangkan oleh kaum ortodoks, neo-ortodoks dan gerakan-gerakan “baru” seperti messianic movement, messianic judaism, dan sebagainya.
Sabtu, 06 Juni 2009
Kapankah Kebangkitan Yesus Itu?
Hukum Yang Terutama
Saya tidak akan membahas perihal perbedaan sudut pandang antara ketiga penulis Injil tersebut dalam tulisan ini, melainkan akan memfokuskan pada perspektif Matius tentang diskusi tersebut, sekaligus melihat bagaimana Matius menafsirkan ucapan Yesus tentang “Hukum yang Terutama.”
Kamis, 04 Juni 2009
Jadikanlah Mereka Murid
Shema' sebagai Syahadat
“Dengarlah Israel, YHWH itu Tuhan kita, YHWH itu Esa!” merupakan pengajaran yang sangat mendasar baik oleh Yudaisme maupun oleh Yesus.
Sebuah penelitian yang dilakukan dengan sangat cermat membuktikan bahwa kalimat ini bukanlah sebuah kalimat yang biasa bagi Yesus dan kaum Yahudi pada abad pertama. Berdasarkan Talmud Babilonia (Sukka 42a), anak laki-laki Yahudi pertama kali harus diajari mengucapkan kalimat ini sejak ia mulai bisa berbicara. Dengan kata lain, sangat mungkin bagi Yusuf, ayah Yesus, untuk mengajarkan kalmat itu kepada Yesus ketika Yesus mulai berbicara.
Dalam Alkitab, teks ini diambil dari Ulangan 6:4, sebuah kitab Taurat yang beredar sangat luas dan paling populer di antara kelima kitab Musa (Pentateukh) pada zaman Yesus. Karena itu, wajarlah jika naskah-naskah Perjanjian Baru (PB) lebih banyak mengutip dari kitab Ulangan. Yesus, ketika dewasa pun, berhadapan dengan cobaan iblis (Matius 4:1-11), mengutip tiga kali dari kitab Ulangan, bahkan dalam penggalian arkeologis, fakta bahwa kitab Ulangan merupakan kitab paling luas penyebarannya diperkuat dengan ditemukannya lebih banyak naskah kitab Ulangan di antara gulungan-gulungan atau naskah Laut Mati yang ditemukan di Qumran.
Kini, naskah Ulangan 6:4 itu dikenal dengan sebutan Shema' (“Dengarlah!” - Ibr), sebuah kata kerja perintah yang mengawali naskah aslinya: “Shema' Yisrael YHWH Eloheinu YHWH ekhad!” Dalam tradisi Ibrani, Shema' bukanlah sebuah doa (literatur rabinik tidak pernah menggunakan kata ‘doa’ untuk Shema') melainkan suatu konfesi iman atau kredo (syahadat) yang disahkan dalam Mishna (+ 200 M).
Kekristenan tidaklah merubah syahadat ini melainkan tetap mempertahankannya. Yesus dengan tegas mengutip syahadat ini ketika ditanya mengenai hukum yang terutama (Markus 12:29), namun banyak gereja kini kehilangan esensi dari Shema' ini. Terjemahan Alkitab bahkan terkesan sederhana mengartikan Ekhad dengan kata “Esa.” Para penafsir Yahudi mengartikan lebih dalam terhadap satu kata ini: (1) sebagai suatu afirmasi atas monoteisme, dan (2) mendeklarasikan keunikan TUHAN, Being Utama, Pencipta segala sesuatu. []Purim
Dalam kitab Ester 9:20-32 kita menemukan tulisan mengenai ditetapkannya hari raya Purim, yaitu hari raya untuk memperingati bebasnya orang-orang Yahudi dari suatu upaya persekongkolan di istana Persia, yang dilakukan oleh Haman, untuk menghancurkan semua orang Yahudi.
Hari raya Purim diperingati setiap tanggal 14 pada bulan Adar, menurut kalender Ibrani. Menurut perhitungan, biasanya hari raya ini jatuh pada bulan Maret, menurut kalender Masehi. Sayangnya, sebagian besar orang Kristen tidak lagi ikut merayakan Purim. Padahal, bagi orang-orang Yahudi, Purim merupakan hari raya yang paling meriah. Melalui hari raya Purim, kita diingatkan akan pentingnya menolak segala bentuk diskriminasi, baik diskriminasi berdasarkan ras, suku, jenis kelamin maupun agama.
Bukan hanya itu saja, hari raya Purim juga diwarnai dengan tradisi-tradisi yang sangat baik untuk tetap dipelihara. Di antara tradisi-tradisi tersebut terdapat empat tradisi yang cukup penting, yaitu: membaca kitab Ester (qeriat hammegilla), memberikan bingkisan berupa makanan dan minuman (mishloakh manot), memberikan amal kepada orang-orang miskin (mattanot la’evyonim) serta makan bersama dalam bentuk perjamuan (se’dat Purim). Tradisi-tradisi ini berangkat dari tradisi yang ditetapkan oleh Ester dalam perayaan Purim itu sendiri (Ester 9:22).
Dari antara keempat tradisi tersebut, tradisi mishloakh manot (pemberian bingkisan berupa makanan dan minuman) menjadi tradisi yang paling menonjol dalam perayaan Purim.
Berdasarkan halakha (kumpulan hukum Yahudi), setiap orang Yahudi yang telah berumur di atas bar atau bath mitswa (di atas 12 atau 13 tahun), wajib mengirimkan dua jenis berbeda makanan siap makan kepada seorang temannya, serta dua bentuk amal (baik uang maupun makanan) kepada dua orang miskin.
Di dalam halakha, disebutkan beberapa aturan pokok mengenai tradisi mishloakh manot, antara lain:
1. Mishloakh manot haruslah dilakukan selama matahari masih bersinar di hari Purim, lebih baik setelah pembacaan kitab Ester;
2. Jika kita memiliki anak-anak, pastikan juga bahwa mereka mengirimkan misloakh manot kepada teman-teman mereka. Hal ini sangat menyenangkan dan sekaligus merupakan cara kita melatih mereka sejak dini;
3. Secara tradisi, misloakh manot dikirimkan melalui orang ketiga. Anak-anak kecil merupakan utusan yang sangat antusias. Juga, kita dihimbau untuk memberikan sesuatu yang menyenangkan kepada anak-anak yang mengantarkan mishloakh manot ke rumah kita, dan ingatkan mereka untuk mengucapkan doa berkat;
4. Untuk alasan kesopanan, laki-laki haruslah mengirimkan mishloakh manot kepada teman laki-lakinya, demikian juga perempuan mengirimkan kepada teman perempuannya. Aturan ini cukup kontras dengan tradisi di Hari Valentine. Bisa juga, satu keluarga mengirimkan kepada keluarga yang lain;
5. Tidaklah wajib untuk mengirimkan mishloakh manot kepada mereka yang sedang berduka. Meski demikian, dalam hari raya Purim, orang-orang yang berduka harus diberi penghiburan. Karenanya, ada semboyan dalam hari raya Purim dimana “tidak boleh ada satu orang pun dalam satu kota yang merasakan kesedihan di hari raya Purim.”
6. Meskipun secara hukum kita diwajibkan mengirimkan mishloakh manot hanya kepada satu orang, namun, orang yang memberikan mishloakh manot kepada lebih dari satu orang disebut “orang yang sangat diberkati.”
7. Mishloakh manot haruslah berisi makanan yang layak dimakan (kosher).
Masih banyak aturan lain mengenai mishloakh manot dalam hari raya Purim. Tetapi, intinya tradisi ini sangatlah baik untuk diterapkan dalam konteks kekristenan. Bayangkan saja, jika dalam satu kota terdapat 100 orang Kristen, maka, jika setiap satu orang Kristen memberi makan dua orang miskin dalam sehari, akan ada 200 orang miskin yang mendapatkan makanan secara cuma-cuma pada hari itu. Suatu tradisi yang baik, bukan?
Dengan cara ini, “kasih” yang menjadi inti dari pemberitaan Yesus, bahkan inti dari isi Alkitab, benar-benar dapat direalisasikan, tidak sekedar menjadi slogan yang kosong.
Ciptaan Baru
Yunus: Change of Spirit
Lucifer itu Baik
Who is Lucifer?
Perang dalam Kekristenan
Adanya kepercayaan bahwa gereja adalah Laskar Kristus secara harafiah, dengan demikian penggunaan kekuatan penuh terhadap orang-orang yang tidak percaya menjadi salah satu syarat untuk menjadi pengikut Yesus. Tujuannya adalah menciptakan dunia ini menjadi tempat bagi Kekristenan.
Teori ini tidak berkembang dengan baik.
PasifismeSeorang pasifis meyakini bahwa Tuhan mengutuk perang dengan alasan apapun selama Ia belum mengumpulkan malaikat-Nya untuk menjalankan eksekusi.
Dasar konsep ini adalah Mat. 5:38-39, 43-45. Kalangan pasifis mengatakan bahwa pembalasan itu menjadi hak Tuhan bukan anak-anak-Nya.
Banyak kalangan pasifis menggunakan khotbah di bukit untuk membangun semangat anti-kekerasan. Semangat tanpa resistensi dan tanpa kekerasan ini telah dicontohkan oleh Yesus sendiri, dan inilah yang menjadi jalan salib yang harus ditempuh oleh setiap orang percaya.
Kekerasan secara absolut adalah suatu bentuk inkonsistensi terhadap Hukum Kasih. Myron Augsberger bertanya, “Bagaimana mungkin kita membunuh orang lain yang untuknya Yesus telah mati?”
Dalam pandangan ini dikatakan bahwa lebih baik kita menderita daripada menyebabkan orang lain menderita, sebagaimana Yesus lebih memilih mati di kayu salib daripada memerintahkan pengikut-pengikut-Nya untuk angkat senjata.
Lebih jauh kekerasan adalah hasil dari penyembahan berhala, sebagaimana Stanley Hauerwas mengatakan bahwa ada dosa kita yang tersisip pada benda-benda yang membutuhkan penggunaan kekerasan untuk mempertahankannya.
Teori ini berkembang selama 2 abad hingga adanya konversi Konstantinus. Sejak Konstantinus menjadi Kristen, banyak orang Kristen mengabdikan diri sebagai tentara.
Teori “Just War”Teori ini merupakan teori yang paling populer, yang mengatakan bahwa ada kesempatan-kesempatan tertentu dimana perang itu dijustifikasi sejauh aturan-aturannya diikuti. Aturan-aturan itu ditulis pertama kali oleh Augustinus sekitar tahun 400 M. Ia mengatakan bahwa perdamaian tidak diupayakan dalam rangka membangkitkan perang, tapi perang dikumandangkan dalam rangka mencapai perdamaian.
Teori just war berangkat dari pendekatan “hukum alami moralitas”, dimana menurut hukum ini, semua orang mengetahui bahwa beberapa bagian dari tingkah laku adalah tak bermoral, tidak respektif terhadap loyalitas agamanya.
Prinsipnya bahwa keadilanlah yang harus membimbing manusia. Tetapi bukan hanya keadilan, kasih pun harus menjadi motif perang.
Ada beberapa alasan perang itu dijustifikasi:
1. Just war harus memiliki just cause. Perang hanya diizinkan untuk menahan agresi dan membela para korban, bukan untuk melakukan agresi
2. Just war harus memiliki just intent. Mempertahankan keadilan adalah satu-satunya motif yang diterima
3. Just war haruslah menjadi upaya terakhir. Artinya segala bentuk resolusi telah gagal atau ditolak
4. Just war haruslah memiliki legitimasi otoritas. Dalam kasus AS, haruslah seizin Kongres.
5. Just war haruslah memiliki batas atau tujuan-tujuan yang harus dicapai. Pembantaian musuh atau penghancuran total terhadap suatu peradaban tidak dibenarkan
6. Just war haruslah proporsional. Pencapaian yang baik haruslah ada jaminan hidup
7. Just war harus menyediakan kekebalan terhadap pertempuran. Perang tidak boleh ditujukan kepada warga sipil tapi harus meminimalisasi jatuhnya korban sipil.
Teori just war ditarik kembali ke pengajaran Perjanjian Lama dan pengajaran etika Yunani dan Romawi. Inti-inti ajaran itu kemudian dikristenkan oleh Augustinus dan disistematisasikan oleh Thomas Aquinas pada abad ke-13, yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Fransisco de Vitoria pada abad ke-16. Konsep ini kemudian disahkan oleh tokoh-tokoh Reformasi. Konsep ini dipertahankan oleh mayoritas Katolik Roma dan Protestan sampai saat ini.
Realisme KristenPandangan ini dikemukakan oleh Reinhold Niebuhr.
Prinsip-prinsip dari pandangan ini adalah:
1. Manusia adalah berdosa - tidak ada bagian dari manusia yang bebas dari sentuhan dosa.
2. Perang adalah iblis - perang selalu merupakan dampak dari dosa manusia.
3. Perang mungkin saja dibutuhkan - untuk menghadapi iblis yang lebih besar.
Niebuhr mengatakan bahwa pandangan pasifis keliru, sebab kita kadang kala membutuhkan kekerasan untuk melawan musuh kita.
Dampaknya bahwa perang itu kadang kala dibutuhkan, tapi bukan berarti perang itu bukan dosa. Perang, sekalipun dilakukan dengan terpaksa, tetaplah merupakan perbuatan dosa. []
Nama YHWH
Asal nama YHWH merupakan polemik yang cukup panjang di kalangan para teolog. Von Bohlen dalam bukunya berjudul Genesis mengatakan bahwa nama Yahweh diadopsi oleh orang Yahudi dari bangsa Kanaan. Pendapat von Bohlen ini didukung oleh Von der Alm (Theol. Briefe, I, 1862, hlm. 524-527), Colenso (The Pentateuch, V, 1865, hlm. 269-284), dan Goldziher (Der Mythus bei den Hebräern, 1867, hlm. 327). Namun, kemudian ditentang oleh Kuenen (“De Godsdienst van Israel”, I, Haarlem, 1869, hlm. 379-401) dan Baudissin (Studien, I, hlm. 213-218). Alasannya sangat sederhana bahwa mustahil nama ilah sebuah bangsa yang menjadi musuh bebuyutan kemudian diadopsi menjadi nama yang sangat mendominasi Yudaisme kemudian.
Vatke (Die Religion des Alten Test., 1835, hlm. 672) dan J.G. Müller (Die Semiten in ihrem Verhältniss zu Chamiten und Japhetiten, 1872, hlm. 163) kemudian memberi pendapat yang berbeda. Keduanya berpendapat bahwa nama Yahweh berasal dari Indo-Eropa (Dyaus). Pendapat ini tidak dapat diterima oleh banyak pakar dan dianggap merupakan suatu bentuk pemaksaan istilah.
Pendapat yang kemudian banyak dipegang adalah bahwa nama Yahweh berasal dari Mesir. Pendapat ini banyak didukung oleh para sarjana sebab Musa sendiri merupakan seorang pemimpin Ibrani yang tumbuh dan dididik di Mesir. Namun, argumen-argumen yang diberikan masih banyak diragukan:
· Röth (Die Aegypt. und die Zoroastr. Glaubenslehre, 1846, hlm. 175) mengatakan bahwa nama itu berakar dari nama dewa bulan Mesir Ih atau Ioh.
Pierret (“Vocabul. Hiérogl.”, 1875, hlm. 44) menolak argumen ini dengan mengatakan bahwa tidak ada hubungannya antara dewa bulan Mesir dengan Yahweh Ibrani.
· Plutarch (De Iside, 9) mencoba membuktikan dengan ditemukannya sebuah patung Athene (Neith) di Sais dimana terdapat sebuah inskripsi bertuliskan “Aku adalah segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan ada.” Argumen ini pun dibantah oleh Tholuck (Vermischte Schriften, I, hlm. 189-205). Menurut Tholuck, arti dari inskripsi tersebut berbeda dengan arti nama Yahweh.
· Kalimat kuno Mesir, “nuk pa nuk” juga dijadikan argumen karena memiliki kemiripan dengan kalimat “ehye asher ehye” dalam Bahasa Ibrani. Namun, argumen ini juga dianggap lemah sebab menurut Le Page Renouf (Hibbert Lectures for 1879, hlm. 244), istilah nuk pa nuk sebenarnya berarti “Ini adalah aku yang...”
Pendapat lain yang juga dibantah adalah pendapat bahwa nama YHWH berasal dari Kaldea atau Akkadian:
· Menurut Delitzsch (“Wo lag das Paradies”, 1881, hlm. 158-164), Yahweh dikatakan merupakan nama penting dewa nasional. Nama dewa itu adalah Yahu atau Yah, dimana huruf i menjadi elemen penting pada nama itu. Pendapat ini disangkal dengan alasan bahwa Yah hanyalah sebuah nama puitis bagi Yahweh dalam alkitab, sementara Yahu tidak pernah muncul dalam Alkitab. Kata Yahu justru muncul dalam inskripsi Mesa (baris 18) yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 SM.
· Yahu dan Yah sangat dikenal di luar Israel, sehingga ada dugaan bahwa nama Yahweh diadopsi dari kedua nama itu. Menurut Schrader (“Bibl. Bl.”, II, p. 42, 56), Sargon (“Cylinder”, xxv) dan Keil (“Fastes”, I. 33), variasi nama Raja Hammath menunjukkan bahwa Ilu sama dengan Yau, dan bahwa Yau adalah nama dewa. Pembuktian ini sulit diterima sebab nama-nama asing yang mengandung nama dewa itu sangat diragukan, apalagi menggunakan nama dewa dianggap pelecehan bagi kebanyakan bangsa asing.
· Delitzsch (“Lesestücke”, 3rd ed., 1885, hlm. 42) dan Syllab (A, col. I, 13-16) kemudian mengatakan bahwa di antara masyarakat Babilonia pra-Semitik, i merupakan singkatan dari Ilu, dewa tertinggi. Pada periode Assyria menjadi Yau. Hommel (Altisrael. Ueberlieferung, 1897, hlm. 144, 225) sangat yakin dengan argumen ini dan mengatakan bahwa Yau adalah dewa yang mewakili ideografis (ilu) A-a, tapi diucapkan Malik, yang merupakan bentuk ekspresi yang seharusnya dibaca Ai atau Ia (Ya). Para bapak leluhur mengembangkan nama ini dan Musa meminjam kemudian mentransformasikan nama itu menjadi Yahweh. Pendapat ini dibantah oleh Lagrange (Religion semitique, 1905, hlm. 100 dyb). Ia menggarisbawahi bahwa orang-orang Yahudi tidak percaya bahwa mereka menyerahkan anaknya kepada Yahweh sama seperti menyerahkan kepada Malik. Yer. 32:35 dan Sof. 1:5 dengan tegas membedakan antara Malik dengan Allah Ibrani.
Pandangan bahwa nama YHWH murni berasal dari tradisi Ibrani merupakan pandangan yang dianggap paling memuaskan. Para ahli, seperti Nicholas Lyra, Tostatus, Cajetan, Bonfrère, dsb, menjadikan Kel. 6:2-8 sebagai dasar pemikiran mereka. Menurut mereka, nama YHWH pertama kali digunakan oleh Musa di Gunung Horeb.
Pendapat ini diragukan oleh Robion (“la Science cathol.”, 1888, hlm. 618-24), Delattre, van Kasteren, dan Robert (“Revue biblique”, 1894, pp. 161-81). Menurut mereka, frase “belum menyatakan diri” dalam Kel. 6:3 bukan berarti bahwa nama itu belum digunakan. Maksud ayat tersebut bahwa YHWH belum menyatakan makna dari nama itu kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Kepada Musalah makna nama itu dinyatakan.
Ada dugaan bahwa nama YHWH telah muncul jauh sebelum Musa namun dalam bentuk yang berbeda. Di Gunung Horeblah bentuk akuratnya menjadi jelas.
· Kej. 4:26 mengatakan bahwa manusia mulai memanggil nama YHWH pada periode Enos.
· Yokhebed, ibu Musa, menggunakan singkatan Yo dari YHWH.
· Ada 163 nama diri yang menggunakan elemen nama YHWH dalam komposisi nama mereka, 48 menggunakan yeho atau yo di awal nama, sementara 115 menggunakan yahu atau yah di akhir nama mereka, sedangkan bentuk Yahweh tidak ditemukan sama sekali. Karena itu, ada dugaan bahwa bentuk Yeho, Yo, Yahu, dan Yah adalah nama ilahi yang pernah eksis di kalangan Israel sebelum bentuk YHWH itu muncul.
Kel. 6:2-8 kemungkinan merupakan jawaban Allah atas pergumulan Musa dalam Kel. 3:13. Persoalannya, dalam Kel. 3:14 dan 15, Allah memperkenalkan diri dengan tiga nama penting untuk satu pertanyaan Musa “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? --apakah yang harus kujawab kepada mereka?”:
1. `HYH `SHR `HYH (אהיה אשׁר אהיה) diterjemahkan “AKU ADALAH AKU” (ehye asher ehye) merupakan jawaban Allah pertama ketika Musa menanyakan nama-Nya. Bentuk kalimat ini tidaklah sempurna, secara harafiah berarti “ADA/BERADA/ADALAH (ehye) YANG/YAITU/SEBAB (asher) ADA/BERADA/ADALAH (ehye).” Hanya beberapa ahli yang mengakui bahwa itu adalah nama Allah yang sebenarnya.
2. `HYH (אהיה) diterjemahkan “AKULAH AKU” (ehye), bentuknya sama dengan yang pertama, semestinya berarti “ADA/BERADA/ADALAH.” Kata `HYH muncul sebanyak 1961 kali dalam PL dan diterjemahkan “AKU ADALAH” hanya dalam Kel. 3:14 ini, karenanya terkesan dipaksakan untuk diterjemahkan.
3. YHWH (יהוה) muncul sebanyak 5000 kali dalam PL dan tidak pernah diterjemahkan. Tradisi Ibrani menolak untuk menyebutkan nama suci ini, sehingga ketika Bahasa Ibrani tidak lagi menjadi lingua franca, cara penyebutan YHWH pun dilupakan. Kaum Masoret pernah mencoba memasukkan vokal Adonai ke dalam YHWH sehingga muncul penyebutan Yahowah, namun model ini tidak banyak digunakan. Bapak-bapak gereja sendiri berbeda pendapat mengenai penyebutan tersebut, setidaknya ada sebelas bentuk yang bisa dikemukakan:
- Diodorus Siculus menulis Yao (I, 94);
- Irenaeus (“Adv. Haer.”, II, xxxv, 3, dalam P. G., VII, kol. 840), Yaoth;
- Kelompok Valentinian (Ir., “Adv. Haer.”, I, iv, 1, dalam P.G., VII, kol. 481), Yao;
- Clement dari Aleksandria (“Strom.”, V, 6, dalam P.G., IX, kol. 60), Yaou;
- Origenes (“in Joh.”, II, 1, dalam P.G., XIV, kol. 105), Yao;
- Porfyrus (Eus., “Praep. evang”, I, ix, dalam P.G., XXI, kol. 72), Yeuo;
- Epifanius (“Adv. Haer.”, I, iii, 40, dalam P.G., XLI, kol. 685), Ya atau Yabe;
- Pseudo-Yerome (“Breviarium in Pss.”, dalam P.L., XXVI, 828), Yaho;
- Kaum Samaritan (Theodoret, dalam “Ex. quaest.”, xv, dalam P. G., LXXX, kol. 244), Yabe;
- James dari Edessa (band. Lamy, “La science catholique”, 1891, hlm. 196), Yehyeh;
- Yerome (“Ep. xxv ad Marcell.”, dalam P. L., XXII, kol. 429) menolak mereka yang menulis nama ilahi dengan penulisan II I II I.
Kaum Samaritan yang menyebut Yabe dianggap mendekati keasliannya sehingga vokalnya kemudian diambil dan muncullah Yahweh yang banyak digunakan sampai sekarang.
Upaya melacak kembali penyebutan nama YHWH merupakan upaya yang sudah lama berkembang baik di kalangan Yahudi maupun di kalangan Kristen. Banyak sarjana tidak lagi mempersoalkan hal ini dan lebih memilih untuk bertahan dengan sebutan Yahweh. Sebagian lagi menggunakan YHWH tanpa memasukkan vokal. Umumnya justru mengikuti tradisi Yahudi yang tidak menyebutkan nama itu bahkan tidak menyalinnya ke dalam bentuk lain (tetap mempertahankannya dalam teks Ibrani).
Para teolog kontemporer justru memilih untuk melihat esensi nama itu tanpa mempersoalkan penyebutan dan penulisannya. Menurut Robion, Delattre, van Kasteren, dan Robert makna penting di balik nama YHWH itu dapat dilihat dalam Kel. 6:2-8, dimana Allah dengan tegas menyatakan esensi dari nama itu. Menurut mereka, pada zaman para leluhur, Allah telah menyatakan diri sebagai Allah Yang Maha Kuasa, Allah Yang Maha Tinggi, Elohim Tseva’oth (Allah Bala Tentara/Allah Yang Perkasa), maka kepada Musa, Allah menyatakan diri sebagai Allah Perjanjian, Allah yang senantiasa memegang janji-Nya, baik janji kepada para leluhur (Abraham, Ishak, dan Yakub), janji kepada Musa, maupun janji kepada keturunannya atau janji kepada umat-Nya.
Furst (“Vet. Test. Concordantiae”, Leipzig, 1840) melacak dari akar kalimat `HYH `SHR `HYH (ehye asher ehye) dan menyebut bentuk ini sebagai forma participialis imperfectiva, artinya YHWH adalah bentuk imperfek dari kata kerja “ada” dalam Bahasa Ibrani yang secara esensi menyatakan YHWH sebagai Sang “Being”. Kaum skolastik mengartikan YHWH dalam makna yang lebih dalam dengan mengatakan bahwa YHWH hanya bisa didefinisikan dengan being, murni dan sederhana, tidak lebih dan tidak kurang; bukan being abstrak yang lazim bagi semuanya, dan karakteristik ketiadaan dalam partikular, melainkan being absolut, samudera segala being yang substansial, bebas dari segala kausa (penyebab), tidak mungkin berubah, melampaui segala batas waktu, sebab Ia tidak berbatas: “Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir,... yang Ada, telah Ada, dan akan Ada, Yang Maha Kuasa” [(Apoc., i, 8). band. St. Thomas, I, qu. xiii, a. 14; Franzelin, “De Deo Uno” (3rd ed., 1883, thesis XXIII, pp. 279-86)].
Sakramentologi
Pengertian Sakramen
Kata “sakramen” berasal dari kata sacramentum (Lat.) yang digunakan untuk menerjemahkan kata musthrion (Yun.)[1] ke dalam teks Vulgata (Ef. 5:32; Kol. 1:27; 1Tim. 3:16; Why. 1:20; 17:7)[2]. Kata sacramentum pertama kali digunakan dalam literatur gereja oleh Tertullianus[3] yang merujuk pada banyak elemen dalam gereja (termasuk trinitas). Tertullianus juga menggunakan istilah ini untuk menyebut soal baptisan dan perjamuan kudus (eukaristi).
Awalnya, kata sacramentum merupakan istilah teknis dalam masyarakat Romawi yang berarti sumpah setia tentara Romawi kepada sang kaisar. Istilah ini kemudian berkembang menjadi istilah umum untuk sumpah apa saja dan kemudian diadopsi ke dalam lembaga keagamaan dengan makna “janji atau tanda.”[4]
Secara umum (bisa dikatakan sebagai definisi Kristen, baik Katolik maupun Protestan), “sakramen” didefinisikan sebagai “tanda lahiriah yang nampak, ditetapkan oleh Kristus, untuk menyatakan dan menjanjikan suatu berkat rohani.” Definisi ini dipengaruhi oleh pemikiran Augustinus (354-430) yang menyebut sakramen sebagai sacrum signum (tanda suci) atau verbum visibile (firman yang kelihatan).[5]
Kontroversi mengenai Sakramen
Kontroversi mengenai sakramen terutama terfokus pada jumlah sakramen juga lebih spesifik pada persoalan baptisan. Pada masa gereja mula-mula, hanya dikenal dua upacara khusus dalam gereja di samping Paskah[6], yaitu baptisan dan perjamuan kudus. Pada tahun 150 M, ada suatu upacara penting lainnya yang disebut “rekonsiliasi” (ditemukan dalam tulisan Hermas, 140-150). Tahun 200 M juga ditambah dengan “Urapan Minyak,” yang oleh Hippolytus (+ 215 M) lebih dikhususkan bagi orang sakit.
Pada tahun 400 M pernikahan mulai digagas untuk masuk dalam bagian sakramen, namun yang benar-benar menerima “pernikahan” sebagai bagian dari sakramen adalah Petrus Lombardus (1100-1160) pada tahun 1150. Sementara pada tahun 1000 juga muncul upacara “konfirmasi” di kalangan Gereja Barat.
Abad ke-11, gereja mengenal enam sakramen: baptisan, konfirmasi (di gereja Barat), eukaristi, penitentia (pengampunan dosa), pengurapan, dan ordinasi (pentahbisan). Baptisan dikaitkan dengan dosa asal, konfirmasi sebagai bentuk kesediaan menjadi laskar Kristus (Hinchmar, bishop Rheims), eukaristi dirunut kembali ke Perjamuan Akhir, dan ordinasi dilakukan bukan saja untuk imam dan diaken, tapi juga sub-diakonat dan fungsi-fungsi di bawahnya. Sementara, pengurapan, sejak reformasi Karolingian dibatasi untuk orang sakit dan orang yang meninggal sebagai tanda pengampunan dosa.
Pada masa Gregorius VII, jumlah sakramen menjadi lima, kemudian menjadi dua belas pada periode Petrus Damiani. Pada abad ke-12, Hugo dari Saint-Victor menyebut tiga puluh sakramen, sedangkan Gregorius dari Bergamo dan Petrus Lombardus pada periode yang sama menyebut tujuh sakramen (baptisan, eukaristi, konfirmasi, ordinasi, pernikahan, penitentia, dan pengurapan), yang kemudian diadopsi oleh Thomas Aquinas dan disahkan dalam Konsili Trente (1545-1563). Konsili Trente juga mengukuhkan doktrin trans-substansia dan ex opere operato (sakramen mencapai tujuannya jika pelaksanaannya benar).
Reformasi mula-mula (abad ke-16) membatasi sakramen menjadi tiga: baptisan, perjamuan kudus, dan pengampunan dosa, yang kemudian menjadi dua: baptisan dan perjamuan kudus. Reformasi juga menolak ex opere operato serta doktrin trans-substansia[7]. Menurut gereja reformasi, sakramen harus dipandang sebagai “ritus” yang berakar dalam “perintah Allah” (mandatum) dan disertai “janji.” Dengan kata lain, sakramen adalah ritus yang terjadi atas “perintah dan perjanjian” Allah.
Konfesi Augsburg IX menetapkan bahwa baptisan anak itu perlu (menentang pandangan Anabaptis)[8]. Konfesi Augsburg X menegaskan bahwa tubuh dan darah Kristus hadir dalam perjamuan kudus, sementara Konfesi Augsburg XIII menegaskan bahwa sakramen bukan hanya tanda kenal lahiriah, tapi juga “pertanda dan kesaksian akan kehendak Allah mengenai kita” (keduanya menentang Zwingli).
Rumusan Konkord VII, 5 dst menentang pendapat Calvinis yang mengatakan bahwa Kristus hadir hanya dengan kuasa (virtus) dan Roh (spiritus), sementara Rumusan Konkord VII, 22 dst dengan tegas menentang doktrin trans-substansia. Gereja Lutheran, melalui Katekismus Heidelberg menentang doktrin Katolik yang mengatakan bahwa sakramen lebih tinggi dari firman. Masih banyak kontroversi soal sakramen, khususnya menyangkut jumlah sakramen, baptisan anak, dan cara baptisan.
Baptisan dan Perjamuan Kudus
(Gereja) Kemah Abraham mengikuti pemikiran reformasi hanya menerima dua sakramen, yaitu baptisan dan perjamuan kudus. Baptisan diasosiasikan dengan tradisi PL, yaitu hukum pembasuhan Mosaik (Kel. 30:17-21; Im. 11:25).[9] Perjamuan Kudus juga diasosiakan dengan tradisi PL, yaitu perjamuan Paskah (Kel. 12;
Mrk. 14:1,2,12-16; Yoh. 13:21-30).[10] Dalam literatur gereja mula-mula, banyak naskah yang mendukung penyelenggaraan baptisan dan perjamuan kudus sebagai amanat Kristus, misalnya dalam kitab Didakhe, Surat Ignatius dari Antiokhia, Apology (Yustinus Martir), Epitaph (Abersius), dan Tradisi Rasuli (Hyppolitus), meskipun dokumen-dokumen itu tidak menggunakan istilah “sakramen.”
Baptisan merupakan tanda mengikatkan diri kepada Kristus (Kis. 19:5), identifikasi dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitannya menuju hidup baru (Rm. 6:3-5), menjadi anggota tubuh Kristus (1Kor. 12:13), dan berkat diterima melalui iman (Rm. 6:8-11). Maknanya sama dengan tanda pertobatan, pengampunan dosa, dan pembasuhan (Ibr. 10:22). Dengan demikian, baptisan dikaitkan erat dengan penyatuan dengan Kristus (epi to onwmati iesou xristou; Kis. 2:38) yang juga menyatukan kita dengan Kristus dalam karya Roh Kudus (Rm. 6:3-6).
Perjamuan kudus dikaitkan dengan pembebasan dari dosa sebagaimana Paskah dalam tradisi Yahudi yang memiliki simbol pembebasan dari tirani Mesir. Seorang yang mengambil bagian dalam Paskah ini harus menganggap diri sebagai seorang yang dibebaskan dari tirani Mesir yang dialaminya dulu (Mishna Pesakhim 10.5).
Roti merupakan simbol “roti penderitaan” yang dimakan leluhurnya (Ul. 16:3 menurut tafsiran Hagadah) sedangkan meja di lantai atas merupakan simbol umat perjanjian baru (Yer. 31:31, dst).
[1] mustherion bagi masyarakat Yunani merupakan istilah keagamaan yang ditandai dengan menutup mulut. Karena itu, kata ini sering juga diartikan “rahasia” (misalnya oleh Plato)
[2] Namun, kata musthrion lebih lazim diterjemahkan dengan kata musterium dalam teks Vulgata lainnya
[3] Tertullianus adalah seorang teolog Kristen yang pertama kali menggunakan istilah-istilah gerejawi dalam bahasa Latin, termasuk kata trinitas, substantia, dan personae
[4] Sacramentum juga merupakan istilah untuk ikrar atau jaminan yang diberikan kepada “orang yang dipercaya mampu menjaga rahasia” oleh pihak-pihak yang terlibat dalam tuntutan hukum. Ikrar ini dikaitkan dengan maksud suci
[5] Augustinus dianggap sebagai teolog gereja yang pertama kali memiliki konsep yang jelas tentang teologi sakramental. Ia hanya menyebutkan dua bentuk sakramen, yaitu baptisan dan perjamuan kudus (eukaristi)
[6] Paskah masih menjadi perayaan khusus gereja mula-mula melanjutkan tradisi para Rasul yang merayakan Paskah bersama Yesus menjelang via dolorosa
[7] Doktrin trans-substansia, yang menyatakan bahwa roti dan anggur betul-betul diubah menjadi tubuh dan darah Kristus dalam eukaristis, dikukuhkan dalam Konsili Lateran IV (1215)
[8] Baptisan anak juga disebutkan oleh Irenaeus dan dianggap sebagai bukti oleh gereja-gereja reformasi
[9] Upacara pembasuhan dalam agama Yahudi sangat banyak, seperti pembasuhan tangan sebelum makan, pembasuhan masuk ke Bait Allah, dan baptisan proselit melalui upacara Mikweh (Yoh. 3:22-26; Luk. 11:38)
[10] Dalam literatur Yahudi, penafsiran tentang Paskah terdapat dalam Hagada Paskah juga dalam Mishna Pesakhim. Ditandai dengan bersandar pada meja (simbol pangkuan Abraham), pembagian dana orang miskin (Yoh. 13:29), dan penggunaan sepotong roti yang dicelupkan dalam kuah kharoset (simbol kepahitan perbudakan di Mesir). Perbedaan perhitungan Paskah Farisi (Sinoptik) dan Saduki dianggap sebagai penyebab perbedaan pandangan dalam Injil Sinoptik dan Injil Yohanes tentang perjamuan akhir dan kematian Yesus. Hal ini dibuktikan dengan Naskah Laut Mati. []