Rabu, 01 Juli 2009

Kembali ke Akar?

Upaya untuk mengembalikan dogma, tradisi dan spirit kekristenan ke akar kekristenan itu sendiri bukanlah upaya yang baru dalam sejarah perkembangan kekristenan. Upaya ini adalah upaya yang dilakukan untuk menjawab tantangan zaman, dimana kekristenan dianggap mulai terlepas dari akarnya bahkan mulai meninggalkan akarnya.

Di sisi lain, lepas dari akar dapat bermakna positif bagi kekristenan itu sendiri, sebab dengan cara itu, kekristenan dapat bertumbuh sendiri sebagai agama dan paradigma yang terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Sisi inilah yang diperjuangkan oleh sebagian kaum liberalis dan humanis Kristen melalui pendekatan-pendekatan sosio-antropologis, psikologis dan filosofis kekristenan.

Namun, di sisi lain, lepas dari akar dapat menjadi bumerang bagi kekristenan. Kekristenan dapat bertumbuh sebagai agama dan paradigma yang tidak berakar, sehingga dapat dengan mudah diombang-ambingkan oleh derasnya arus perubahan zaman. Ia dapat bertumbuh sebagai suatu agama sinkretis atau agama yang merupakan produk dari zaman modern, yang semata-mata mengikuti saja apa yang dituntut oleh zaman. Sisi ini diperjuangkan oleh kaum ortodoks, neo-ortodoks dan gerakan-gerakan “baru” seperti messianic movement, messianic judaism, dan sebagainya.


Karenanya, kembali ke akar adalah suatu dilema tersendiri bagi kekristenan. Sebab, dalam hal beragama, kita tidak saja dituntut untuk mampu memelihara ajaran rasuli, yang telah diwariskan sejak zaman dulu, tapi juga kita dituntut untuk dapat melakukan transformasi, tidak saja transformasi pemikiran, melainkan juga transformasi bentuk dengan peradaban yang kian maju.

Muncul sejumlah gagasan yang mencoba mengawinkan antara kembali ke akar dengan kontekstualisasi bentuk. Tujuannya adalah agar kekristenan tetap terikat dengan akarnya, tetapi di saat yang sama, ia menjawab kebutuhan zaman yang terus berubah. Dengan kata lain, gagasan ini mengharuskan kekristenan untuk tidak melupakan akarnya, meskipun hidup di dunia modern.

Masalahnya adalah ke akar mana kita kembali?

Dalam menjawab pertanyaan ini, banyak ahli menggunakan pijakannya sendiri-sendiri. Pada zaman pra-reformasi gereja, ketika surat penghapusan siksa (indulgensia) diperjualbelikan oleh gereja demi kepentingan politik, maka Martin Luther, seorang biarawan Katolik, melakukan gebrakan dengan mengutuk tindakan gereja tersebut dan menyerukan gereja untuk kembali kepada landasan keimanannya, yaitu kembali ke kitab suci (sola scriptura).

Kembali ke kitab suci berarti kembali ke akar kekristenan, dan itulah perjuangan Luther, yang kemudian melahirkan gerakan reformasi gereja sebagai cikal bakal lahirnya Protestan.

Demikian juga ketika liberalisme menguasai pemikiran kekristenan di Eropa, muncul reaksi dari kaum Kristen lainnya yang menilai bahwa liberalisme kian mengacaukan iman Kristen. Reaksi ini melahirkan gerakan puritanisme di Eropa dan fundamentalisme di Amerika. Tujuan dari gerakan-gerakan ini adalah mengembalikan kekristenan ke akar imannya yang bersumber dari kitab suci. Artinya, gerakan ini pun dapat disebut sebagai upaya untuk kembali ke akar kekristenan.

Pada masa sekarang ini, ketika kekristenan terus mengalami perkembangan, muncul gerakan-gerakan “pemulihan” yang terfokus pada tradisi keagamaan dan nama TUHAN. Gerakan-gerakan ini mengidentifikasi dirinya sebagai gerakan mesianik, sacred name movement, messianic-judaism, judeo-christianity, dan banyak lagi. Tujuan mereka pun sama, kembali ke akar kekristenan.

Bahkan gerakan-gerakan liberal, humanis, new age, dan sejenisnya pun mengklaim berupaya untuk mengembalikan kekristenan pada akarnya. Bagi gerakan-gerakan ini, inti kekristenan bukanlah pada tradisi atau kekakuan kitab suci, tetapi pada spirit yang ada di baliknya, yaitu spirit pencerahan. Spirit inilah yang mendorong Yesus untuk melakukan perubahan secara radikal ketika dalam masyarakat Yahudi justru berkembang gerakan-gerakan tradisional yang dipelopori oleh kaum Perushim (Farisi) dan Tseduqim (Saduki).

Demi perjuangan-Nya ini, secara keagamaan Yesus dan pengikut-pengikut-Nya dianggap bagian dari kaum Essen, yaitu kaum yang menentang para imam di Yerusalem karena dianggap telah menjadi antek-antek Romawi. Di sisi lain, secara politik, Yesus dan pengikut-pengikut-Nya dianggap bagian dari kaum Zelotis, yaitu kaum pemberontak yang melakukan gerakan bawah tanah untuk mengusir penjajah Romawi.

Jadi, ke akar manakah kita akan kembali? Hal ini penting untuk dijawab agar upaya kembali ke akar bukan sekedar gerakan tak mendasar yang hanya muncul untuk mendobrak eksistensi kekristenan kini. Sebab, jika gerakan ini hanyalah gerakan semacam itu, maka ia tidak akan jauh beda dengan gerakan-gerakan serupa yang muncul pada abad ke-19 dan ke-20, seperti gerakan mistisisme kristen, teologi evolusi, neo-ortodoks, teologi sukses, dan gerakan-gerakan sejenis.

Karenanya penting untuk menelusuri kekristenan itu, tidak saja menelusuri akar tradisi ritual keberagamaannya, tapi juga akar tradisi pemikiran (dogma) dan akar tradisi moral.

Setidaknya ada sembilan aspek yang dijadikan “akar” kekristenan oleh mereka yang giat memperjuangkan upaya kembali ke akar, yaitu: tradisi semitik, iman Abraham (Abrahamic faith), Yudaisme, Yesus Kristus, iman rasuli (apostolic), gereja mula-mula, bapak-bapak gereja, kitab suci, dan gerakan gerejawi.

Tradisi semitik berbicara tentang aspek-aspek budaya, bahasa dan kehidupan sosial, termasuk di antaranya tradisi ritual hingga ke aspek yang lebih spesifik seperti bentuk tempat ibadah dan pakaian para imam.

Tradisi semitik tidak terbatas pada Yudaisme atau Yahudi, tetapi lebih luas menyangkut wilayah-wilayah Semit. Ditinjau dari penggunaan bahasa, wilayah Semit ini juga mencakup pengguna bahasa Aram dan Arab yang memiliki banyak sekali kemiripan dengan Yudaisme. Bahkan, beberapa ahli meragukan jika bahasa Ibrani masuk dalam kelompok Semit. Mereka berpendapat bahwa bahasa Ibrani adalah turunan dari bahasa Kanaan yang justru termasuk dalam kelompok Hamit, bukan Semit.

Dibanding bahasa Ibrani, bahasa Aram dan Arab justru lebih Semitik dibanding bahasa Ibrani. Namun, karena Yudaisme, yang dikembangkan oleh keturunan Abraham yang sangat Semitik, menjadikan bahasa Ibrani sebagai bahasa utamanya, maka bahasa Ibrani pun identik dengan Semitik. Apalagi bahasa tertua teks Tanakh atau Perjanjian Lama adalah bahasa Ibrani, yang dapat dibuktikan dengan ditemukannya Naskah Laut Mati (Dead Sea Scrolls) dan Pentateukh Samaria.

Lantas, apakah kembali ke akar Semitik berarti kembali ke bahasa Ibrani? Bagaimana dengan bahasa Aram dan Arab? Mengapa justru ada sekelompok orang berjuang untuk kembali ke tradisi Semitik tapi malah “alergi” dengan bahasa Arab, sehingga segala sesuatu yang berbau Arabik dipaksakan untuk dihapuskan dari “bahasa kekristenan”?

Selanjutnya adalah kembali ke akar iman Abraham. Apa yang dimaksud dengan iman Abraham? Apakah iman Abraham hanya diwariskan kepada Yudaisme (keturunan Ishak)? Bagaimana dengan Ismael dan anak-anak Abraham lainnya selain Ishak? Apakah mereka tidak mewarisi iman yang sama?

Umumnya keinginan untuk kembali kepada iman Abraham terfokus pada satu paham bersama, yaitu paham yang meyakini bahwa TUHAN itu Esa (monoteisme). Paham ini rupanya tidak hanya diwariskan kepada Yudaisme, tapi juga Islam, Iman Baha’i dan bahkan kelompok-kelompok keagamaan yang lebih kecil di wilayah Timur Tengah.

Kelompok lain ingin kembali ke akar Yudaisme, dengan argumen bahwa iman Kristen berakar dari Yudaisme atau Yahudi. Argumen ini cukup mendasar, sebab bagaimana pun, konsep-konsep teologis Kristen merupakan kelanjutan atau setidaknya pengembangan dari konsep-konsep Yudaisme, mulai dari konsep monoteisme, Mesias, kitab suci, malaikat dan iblis, hingga ke konsep ibadah.

Masalahnya adalah bagaimana dengan konsep-konsep teologis Kristen yang jelas-jelas telah berbeda secara signifikan? Sebut saja soal kedudukan Kristus sebagai pengantara kepada TUHAN, manusia yang membutuhkan juruselamat, iman sebagai yang terutama, dan masih banyak lagi konsep-konsep lain, yang sangat vital dalam keimanan Yudaisme. Jika konsep-konsep yang sangat vital bagi Yudaisme itu saja bisa mengalami perubahan dalam kekristenan, lalu kenapa untuk hal-hal yang sifatnya tradisi dan hal-hal sekunder lainnya malah dipertahankan mati-matian? Belum lagi jika muncul pertanyaan, Yudaisme yang mana? Setidaknya ada tiga kelompok Yudaisme abad pertama yang kita kenal dari alkitab, yaitu Perushim, Tseduqim dan Essen. Kemana kita berkiblat?

Bagaimana dengan kembali ke akar Yesus Kristus? Bukankah Yesus tidak banyak meletakkan dasar-dasar yang bersifat dogmatis tetapi cenderung pada aspek-aspek etis dan moral? Bagaimana juga dengan kembali ke akar iman rasuli? Ada cukup banyak surat-surat yang ditulis oleh para rasul dalam Perjanjian Baru. Namun, umumnya surat-surat itu berisi jawaban atas konflik-konflik lokal, yang juga didominasi oleh persoalan-persoalan etis.

Jadi, jika kita ingin mengembalikan kekristenan ke akarnya, maka kita tidak akan menemukan satu akar yang tunggal. Kekristenan ibarat pohon, yang tidak hanya berakar pada satu akar tunggal Yudaisme, tetapi juga ikut diperkuat dengan akar-akar kecil lainnya untuk mengukuhkan imannya.

Dengan demikian, untuk kembali ke akar kekristenan, kita tidak bisa melepaskan pada kekuatan akar-akar lain yang menopang itu, meski akar itu harus bertentangan dengan induk Yudaisme. Sebab, kekristenan bukan semata-mata melanjutkan Yudaisme, tetapi ia juga sekaligus adalah kritik atas Yudaisme, khususnya Yudaisme abad pertama.

Akar kekristenan telah menyerap sedemikian rupa unsur-unsur hara lainnya dari berbagai agama dan pemikiran dari zaman ke zaman. Kita tidak bisa memungkiri misalnya bagaimana peranan Hellenisme ikut andil dalam membangun sistem keagamaan kita, dan kita tidak bisa begitu saja menyingkirkan Hellenisme dari kekristenan. Demikian juga dengan unsur-unsur yang lain.

Intinya, kembali ke akar kekristenan adalah suatu langkah positif yang mesti kita dukung bersama. Tapi jangan sampai langkah ini justru menjebak kita pada upaya mundur dalam keberagamaan. []

4 komentar:

  1. (1) Suatu introduksi yang setidaknya memberikan dorongan untuk kita mendalami visi "Kembali ke Akar".

    (2) Nada tulisan mengesankan pesimisme untuk menemukan "jenis" teologi macam apa yang dimaksud dengan "Kembali ke Akar?" Pesimisme Bung Yosi dikarenakan istilah "Kembali ke Akar" dalam artikel ini masih terlalu umum. Trend pemikiran saat ini adalah "Kembali ke Akar Ibrani Iman Kristen". Jargon "Back to Bible" masih terlalu umum, semboyan "Back to Jesus" terlalu parsial. Jika istilah atau jargon sudah jelas, maka kita tinggal memberikan landasan teologisnya saja

    BalasHapus
  2. Kembali ke akar yaitu kembali ke kitab suci yang menjadi pusat pembicaraan menuju ke Yesus

    BalasHapus
  3. kembali ke akar artinya kembali kepada ajaran Yesus. bukan kepada dogma yang dibuat berdasarkan humanisme, filsafat, teologi, hikmat manusia dst.
    Yesus itu kan firman yang hidup, taurat yang hidup, penggenapan dari taurat, manna yang hidup, dan Roh Nya air yang hidup. jadi tidak usah pusing-pusing. kembali aja ke ajaran Yesus...pasti kamu tidak akan tersesat. Yesus dasar jangan cari dasar yang lain lagi.jangan lupa berdoa untuk Israel supaya waktu mereka membaca torah mereka menemukan pencerahan bahwa Yesus adalah taurat yang hidup dan mereka akan merenerima Mesias mereka yaitu Yeshua ha Masiach.

    BalasHapus
  4. Dari komentar saudara-saudara jelas terlihat adanya beragam pemaknaan soal "akar" itu sendiri. Ada yang mengatakan "akar Ibrani," ada yang bilang "Alkitab" (kitab suci) dan ada yang mengatakan "Yesus Kristus."

    Jika ada pembaca lain memberi komentar lagi, akan muncul lagi pemahaman "akar" yang berbeda.

    BalasHapus