“Kristus telah memerdekakan kita bagi kemerdekaan. Berdirilah teguh! dan jangan lagi kamu dibebani dengan kuk perhambaan” (terj. harafiah Galatia 5:1).
Di dalam Kristus, orang-orang telah dimerdekakan. Itulah prinsip ajaran Rasul Paulus. Tetapi, di Galatia, muncul kelompok-kelompok tradisional yang mencoba mengaburkan ajaran Rasul Paulus dengan berkata bahwa mereka harus ditaklukkan kembali kepada Taurat.
Apa maksud “takluk kepada Taurat”? (Gal. 4:5)
Takluk kepada Taurat adalah istilah Rasul Paulus yang ia gunakan untuk menyebut kebiasaan orang-orang Kristen yang menganggap bahwa ketundukan kepada agama adalah ketundukan pada suatu sistim hukum (syariat). Artinya, kalau kita melanggar hukum itu, maka kita akan dihukum!
Keagamaan yang diatur oleh sebuah hukum adalah keagamaan yang membelenggu, sebab, manusia harus tunduk pada ajaran-ajaran agama berlandaskan ketakutan pada hukum.
Apa bedanya ketaatan yang demikian dibandingkan dengan ketaatan para penyembah berhala? Mereka melakukan ajaran-ajaran para berhala mereka karena takut menerima hukuman.
Orang yang percaya kepada Kristus adalah orang-orang yang telah dimerdekakan dari model keberagamaan semacam itu!
Kristus, sebagai teladan, telah memberikan suatu contoh kepada kita, bagaimana menjadi orang yang merdeka. Kemerdekaan yang ditunjukkan Kristus bukanlah kemerdekaan yang palsu, tetapi kemerdekaan yang riil, yaitu ketika kita bebas untuk melakukan apa yang menjadi esensi ajaran agama.
Bebas di sini bukan berarti berbuat semau kita, melainkan bebas berprilaku yang sesuai dengan ajaran agama tanpa adanya bayang-bayang ketakutan pada sebuah hukum, melainkan atas dasar kesadaran diri bahwa kebaikan itulah yang memerdekakan kita.
Inilah esensi kemerdekaan dalam Kristus, dimana pikiran kita membebaskan kita untuk bertindak bukan atas dasar rasa takut atau tertekan.
Contoh sederhana begini: Apabila ada orang merokok karena takut dengan peraturan “dilarang merokok” yang dibuat oleh pemerintah, maka orang itu belum bebas. Sebab, ia tidak akan merokok hanya karena takut mendapat hukuman. Sekiranya dia berada di tempat lain, dimana tidak ada pengawas terhadap aturan itu, atau tempat dimana aturan itu tidak ada, maka ia akan kembali merokok.
Artinya, keagamaan yang didasari oleh hukum hanyalah melahirkan sikap kepura-puraan. Kalau pun seseorang punya keberanian, maka ia akan menjadi pemberontak terhadap agamanya.
Bagaimana dengan ajaran Kristus?
Kristus mengajarkan kita untuk melakukan kebaikan atas dasar iman. Iman adalah “percaya dengan sungguh-sungguh” atau bisa juga disebut “keteguhan.”
Ketika kita percaya (beriman), bahwa apa yang Yesus teladankan adalah kebaikan bagi kita dan bagi sesama, maka kita akan melakukan hal yang sama, bukan karena takut mendapatkan cambukan atau hukuman, melainkan karena kita sadar bahwa tindakan itu adalah baik.
Dalam contoh kasus perokok tadi, ketika ia memilih untuk tidak merokok karena ia sadar bahwa merokok itu tidak baik, maka di situlah kemerdekaannya. Ia melakukan kebaikan itu, bukan karena takut mendapat hukuman, melainkan karena ia percaya pada apa yang ia yakini.
Kemerdekaan yang berdasarkan pada iman tersebut akan mendorong kita untuk menjadi orang-orang yang senantiasa melandaskan segala sesuatu pada kasih.
Karena itu, pada ayat 13, Rasul Paulus berkata, “janganlah mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk hidup dalam dosa, melainkan layanilah (douleute) seorang akan yang lain oleh kasih (agape)”
Orang yang telah dimerdekakan oleh Kristus adalah orang-orang yang menyadari bahwa kehadirannya di dunia ini adalah untuk melayani dalam kasih. Pelayanan dalam kasih ini bertujuan untuk menjadikan orang lain merdeka.
Selamat Merdeka!
* materi ini disampaikan dalam Orientasi Mahasiswa Baru (OMABA) STT Apostolos, 11 Agustus 2011
merdeka!!!
BalasHapusBolehkah anda buat artikel atau penulisan mengenai BAHSA ROH? Thanks!
BalasHapus@MrReeks: Terima kasih atas sarannya, akan Saya usahakan
BalasHapus