Thanatō thanaton patēsas
Kai tois en tois mnēmasi
Zōēn kharisamenos!
Kristus sudah bangkit dari kematian
Oleh kematian Ia mengalahkan kematian
Dan bagi mereka yang ada di dalam kuburan
Petikan syair di atas merupakan syair Paskhal Troparion, yaitu suatu himne yang dilantunkan dalam perayaan Paskah Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Katolik Timur. Lantunan syair di atas biasanya dilantunkan menurut irama Ritus Byzantin, suatu ritus liturgis yang kini digunakan oleh Gereja-gereja Ortodoks Timur dan Gereja-gereja Katolik Timur.
Selain melantunkan himne tersebut, perayaan Paskah juga diwarnai dengan pemberian salam Khristos anestē! Alēthōs anestē! (Kristus sudah bangkit! Benar Dia sudah bangkit!). Salam ini sendiri tidak hanya digunakan oleh gereja-gereja yang melantunkan Paskhal Troparion, tetapi juga oleh Gereja Katolik dan Protestan.
Biasanya, pada perayaan Paskah, seseorang akan mengucapkan salam Khristos anestē! (Kristus sudah bangkit!) dan akan dijawab Alēthōs anestē! (Benar! Dia sudah bangkit!) oleh orang yang diberi salam. Di seluruh dunia, salam ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa: Christ is risen! Truly He is risen! (Inggris), Christus resurrexit! Resurrexit vere! (Latin), Mshikha qām! Sharīrāīth qām! (Syria), Hammeshīakh qam! Be’emeth qam! (Ibrani), al-Masīh qām! Haqqan qām! (Arab), dan banyak lagi.
Dalam penjelasan umum, tradisi ini dikatakan berangkat dari Mat. 27:64; 28:6, 7; Mrk. 16:6; Luk. 24:6 dan 24:34. Namun, ternyata, dalam ayat-ayat yang dirujuk tersebut, tidak ditemukan kalimat Khristos anestē! bahkan kata anestē sendiri tidak ditemukan dalam ayat-ayat itu.
Kata anestē (sudah bangkit), dalam kitab-kitab Injil memang pernah digunakan ketika menyebut tentang orang yang bangkit dari kematian, misalnya dalam Mrk. 5:42; 9:27; Luk. 8:55; dan 9:8, 19. Tetapi tidak pernah digunakan ketika merujuk pada kebangkitan Kristus.
Ketika berbicara tentang kebangkitan Kristus, para penulis Injil lebih senang menggunakan kata ēgerthē (Dia sudah dibangkitkan). Perhatikanlah tulisan Matius dalam Mat. 27:64, ēgerthē apo tōn nekrōn (Dia sudah dibangkitkan dari antara orang mati) serta Mat. 28:6 dan 7, ouk estin hōde, ēgerthē gar (Dia tidak ada di sini, sebab Dia sudah dibangkitkan)... ēgerthē apo tōn nekrōn (Dia sudah dibangkitkan dari antara orang mati).
Markus dan Lukas juga menggunakan istilah yang sama. Bandingkan Mrk. 16:6, ēgerthē, ouk estin hōde (Dia sudah dibangkitkan, Dia tidak ada di sini); dan Luk. 24:6, 34 ouk estin hōde, alla ēgerthē (Dia tidak ada di sini. Dia sudah dibangkitkan)... ontōs ēgerthē ho kurios (sungguh kurios sudah dibangkitkan!).
Dalam tulisan Yohanes, Yohanes menuliskan sekali saja pada permulaan tulisannya, yaitu dalam Yoh. 2:22, hote oun ēgerthē ek nekrōn (lalu, ketika Dia sudah dibangkitkan dari antara orang mati).
Paulus juga menggunakan istilah ini dalam suratnya kepada Jemaat di Roma. Dalam Rm. 4:25, Paulus menulis: kai ēgerthē dia tēn dikaiōsin hēmōn (dan sudah dibangkitkan karena pembenaran kita). Selanjutnya dalam Rm. 6:4, hina hōper ēgerthē Khristos ek nekrōn dia tēs doxēs tou Patros (sama seperti Kristus sudah dibangkitkan dari antara orang mati melalui kemuliaan BAPA).
Kata anestē digunakan dalam hubungan dengan kebangkitan Kristus hanya dalam 1Tes. 4:14. Kata ini juga muncul dalam Rm. 14:9, eis touto gar Khristos kai apethanen kai anestē kai ezēsen (sebab untuk itulah Kristus sudah mati dan sudah bangkit dan sudah hidup kembali), tetapi tidak semua naskah kuno surat Roma memuat kata kai anestē (dan sudah bangkit), sehingga keberadaan kata ini dalam Rm. 14:9 diragukan validitasnya.
Lalu, kenapa gereja-gereja lebih memilih menggunakan istilah anestē ketimbang ēgerthē?
Apa perbedaan antara ēgerthē dan anestē?
Kata ēgerthē berakar dari kata egeirō, artinya “bangkit” baik “bangkit dari duduk” (berdiri), “bangkit dari tidur” (bangun) maupun “bangkit dari kematian.” Ēgerthē sendiri merupakan kata kerja (verba) indikatif aorist pasif.
Dalam tata bahasa (grammar) Bahasa Yunani, setiap kata kerja (verba) memiliki modus atau mood (berhubungan dengan realita), tenses (berhubungan dengan waktu) dan bunyi atau diatesis (menunjukkan hubungan antara subyek dengan predikat). Kata kerja indikatif aorist pasif berarti memiliki modus atau mood: indikatif (oristikē), tense: aorist (aoristos), dan bunyi: pasif.
Modus atau mood indikatif digunakan untuk mengekspresikan kondisi realita yang aktual atau pasti. Artinya kalimat tersebut merupakan pernyataan fakta, misalnya: “Saya makan nasi” atau “Saya sedang makan nasi.”
Tense aorist menyatakan tindakan yang murni dan sederhana, yaitu menyatakan suatu proses yang sudah selesai tanpa melihat lamanya proses tindakan tersebut. Tense ini menyatakan suatu perbuatan pada satu titik waktu (punctiliar), bukan perbuatan yang terus-menerus (continuous) atau berulang kali (repetitive). Karenanya, tense ini tidak berpatokan pada waktu lampau, sekarang atau yang akan datang. Tense ini agak sulit diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan kadang-kadang diterjemahkan secara sederhana saja atau menggunakan simple past tense, misalnya: “Dia belajar ilmu bumi” atau “Dia sudah belajar ilmu bumi.”
Bunyi pasif menyatakan bahwa subyek dari kata kerja tersebut menjadi penderita atau sasaran dari suatu tindakan, misalnya: “Ikan dimakan kucing.”
Mengacu pada penjelasan tersebut, maka kata kerja indikatif aorist pasif berarti kata kerja pasif yang menunjukkan suatu fakta yang pernah terjadi atau sudah terjadi pada satu titik waktu.
Ēgerthē dan anestē sama-sama merupakan kata kerja indikatif aorist. Yang membedakan keduanya adalah pada bunyi atau diatesis. Ēgerthē memiliki bunyi pasif, sedangkan anestē memiliki bunyi aktif. Bunyi aktif menunjukkan bahwa subyek dari kata kerja tersebut menjadi pelaku dari suatu tindakan.
Umumnya, kata anestē digunakan untuk tindakan “bangkit” atas inisiatif si pelaku, misalnya “bangkit berdiri” atau “bangkit dari tidur.” Contohnya dalam Mrk. 5:42, kai euthus anestē to korasion kai periepatei ēn gar etōn dōdeka (dan seketika itu juga anak perempuan itu bangkit dan berjalan, sebab umurnya sudah dua belas tahun); 9:27, ho de Iēsous kratēsas tēs kheiros autou ēgeiren auton, kai anestē (tetapi Yesus memegang tangannya, membangunkannya, dan ia bangkit); dan Luk. 8:55, kai epestrepsen to pneuma autēs kai anestē parakhrēma (dan rohnya kembali dan ia bangkit).
Semua ayat di atas bercerita tentang anak yang dibangkitkan dari kematian. Semuanya menggunakan kata anestē, tetapi penekanan kata anestē bukanlah pada kebangkitan dari kematian, melainkan apa yang dilakukan oleh anak itu setelah ia bangkit. Jadi, lebih tepat diartikan “bangkit berdiri” atau “bangkit sendiri” (Mrk. 9:27—TB-LAI).
Memang ada juga ayat-ayat yang berbicara tentang kebangkitan dalam makna lain, misalnya Luk. 9:8 dan 19 profētēs tis tōn arkhaiōn anestē (bahwa seorang dari nabi-nabi dahulu sudah bangkit), tetapi ini bukan berbicara tentang peristiwa yang terjadi, melainkan hanya dugaan atau bayangan.
Penggunaan kata anestē dalam kebangkitan Kristus kemungkinan akan memunculkan anggapan bahwa kebangkitan itu dilakukan sendiri oleh Kristus, itulah sebabnya para penulis PB lebih dominan menggunakan kata ēgerthē (dibangkitkan) ketimbang kata anestē (bangkit). Ini untuk menegaskan bahwa ketika Kristus mati, ia benar-benar mati sebagai seorang manusia, dan ketika ia bangkit, ia dibangkitkan oleh TUHAN, bukan karena kuasa dari dalam dirinya sendiri.
Dengan demikian, kata anestē pun seharusnya dimaknai sama seperti ēgerthē, yaitu bahwa Kristus dibangkitkan, bukan bangkit dengan sendirinya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar