Sabtu, 06 Juni 2009

Kapankah Kebangkitan Yesus Itu?

Banyak orang Kristen menghubungkan kebangkitan Yesus dengan tanda Nabi Yunus. Sebagaimana Yunus berada di dalam perut ikan selama tiga hari tiga malam, demikian juga Yesus berada dalam kubur.
Pernyataan ini berangkat dari pernyataan dalam Matius 12:39-40 “39Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus. 40Sebab seperti Yunus tinggal di dalam perut ikan tiga hari tiga malam, demikian juga Anak Manusia akan tinggal di dalam rahim bumi tiga hari tiga malam.” 

Persoalannya, jika Yunus berada di perut ikan tiga hari tiga malam lamanya, maka logikanya, Yesus berada dalam kubur selama tiga hari tiga malam juga. Jadi, jika Yesus dikuburkan pada Jumat malam, maka, kebangkitan itu seharusnya terjadi tiga hari tiga malam kemudian, tepatnya Senin sore menjelang malam. 

Hukum Yang Terutama

Tiga Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) sama-sama bercerita tentang diskusi antara Yesus dan Ahli Taurat Farisi mengenai hukum yang terutama (Mat. 22:34-40; Mrk. 12:28-34; Luk. 10:25-28). Namun, hanya Matius yang berhenti pada jawaban Yesus tanpa menjelaskan bagaimana reaksi balik dari Ahli Taurat itu. Markus mengungkapkan bagaimana Yesus melihat kebijaksanaan dalam diri Ahli Taurat, sementara Lukas memberi narasi yang berbeda, dengan mengungkapkan bahwa jawaban itu justru datang dari si Ahli Taurat itu sendiri.

Saya tidak akan membahas perihal perbedaan sudut pandang antara ketiga penulis Injil tersebut dalam tulisan ini, melainkan akan memfokuskan pada perspektif Matius tentang diskusi tersebut, sekaligus melihat bagaimana Matius menafsirkan ucapan Yesus tentang “Hukum yang Terutama.”

Kamis, 04 Juni 2009

Jadikanlah Mereka Murid

"Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Mat. 28:19-20)

Ketika membaca Mat. 28:19-20, maka yang ada di benak mayoritas orang Kristen adalah apa yang dikenal dengan "Amanat Agung." Alasannya, dalam nats ini ada suatu perintah langsung dari Kristus dan di dalamnya terdapat formula baptisan. Tak jarang ada juga yang menafsirkan ini sebagai perintah untuk melakukan Kristenisasi.

Shema' sebagai Syahadat

“Dengarlah Israel, YHWH itu Tuhan kita, YHWH itu Esa!” merupakan pengajaran yang sangat mendasar baik oleh Yudaisme maupun oleh Yesus.

Sebuah penelitian yang dilakukan dengan sangat cermat membuktikan bahwa kalimat ini bukanlah sebuah kalimat yang biasa bagi Yesus dan kaum Yahudi pada abad pertama. Berdasarkan Talmud Babilonia (Sukka 42a), anak laki-laki Yahudi pertama kali harus diajari mengucapkan kalimat ini sejak ia mulai bisa berbicara. Dengan kata lain, sangat mungkin bagi Yusuf, ayah Yesus, untuk mengajarkan kalmat itu kepada Yesus ketika Yesus mulai berbicara.

Dalam Alkitab, teks ini diambil dari Ulangan 6:4, sebuah kitab Taurat yang beredar sangat luas dan paling populer di antara kelima kitab Musa (Pentateukh) pada zaman Yesus. Karena itu, wajarlah jika naskah-naskah Perjanjian Baru (PB) lebih banyak mengutip dari kitab Ulangan. Yesus, ketika dewasa pun, berhadapan dengan cobaan iblis (Matius 4:1-11), mengutip tiga kali dari kitab Ulangan, bahkan dalam penggalian arkeologis, fakta bahwa kitab Ulangan merupakan kitab paling luas penyebarannya diperkuat dengan ditemukannya lebih banyak naskah kitab Ulangan di antara gulungan-gulungan atau naskah Laut Mati yang ditemukan di Qumran.

Kini, naskah Ulangan 6:4 itu dikenal dengan sebutan Shema' (“Dengarlah!” - Ibr), sebuah kata kerja perintah yang mengawali naskah aslinya: “Shema' Yisrael YHWH Eloheinu YHWH ekhad!” Dalam tradisi Ibrani, Shema' bukanlah sebuah doa (literatur rabinik tidak pernah menggunakan kata ‘doa’ untuk Shema') melainkan suatu konfesi iman atau kredo (syahadat) yang disahkan dalam Mishna (+ 200 M).

Kekristenan tidaklah merubah syahadat ini melainkan tetap mempertahankannya. Yesus dengan tegas mengutip syahadat ini ketika ditanya mengenai hukum yang terutama (Markus 12:29), namun banyak gereja kini kehilangan esensi dari Shema' ini. Terjemahan Alkitab bahkan terkesan sederhana mengartikan Ekhad dengan kata “Esa.” Para penafsir Yahudi mengartikan lebih dalam terhadap satu kata ini: (1) sebagai suatu afirmasi atas monoteisme, dan (2) mendeklarasikan keunikan TUHAN, Being Utama, Pencipta segala sesuatu. []

* ditulis untuk Majalah SUKA

Purim

Dalam kitab Ester 9:20-32 kita menemukan tulisan mengenai ditetapkannya hari raya Purim, yaitu hari raya untuk memperingati bebasnya orang-orang Yahudi dari suatu upaya persekongkolan di istana Persia, yang dilakukan oleh Haman, untuk menghancurkan semua orang Yahudi.

Hari raya Purim diperingati setiap tanggal 14 pada bulan Adar, menurut kalender Ibrani. Menurut perhitungan, biasanya hari raya ini jatuh pada bulan Maret, menurut kalender Masehi. Sayangnya, sebagian besar orang Kristen tidak lagi ikut merayakan Purim. Padahal, bagi orang-orang Yahudi, Purim merupakan hari raya yang paling meriah. Melalui hari raya Purim, kita diingatkan akan pentingnya menolak segala bentuk diskriminasi, baik diskriminasi berdasarkan ras, suku, jenis kelamin maupun agama.

Bukan hanya itu saja, hari raya Purim juga diwarnai dengan tradisi-tradisi yang sangat baik untuk tetap dipelihara. Di antara tradisi-tradisi tersebut terdapat empat tradisi yang cukup penting, yaitu: membaca kitab Ester (qeriat hammegilla), memberikan bingkisan berupa makanan dan minuman (mishloakh manot), memberikan amal kepada orang-orang miskin (mattanot la’evyonim) serta makan bersama dalam bentuk perjamuan (se’dat Purim). Tradisi-tradisi ini berangkat dari tradisi yang ditetapkan oleh Ester dalam perayaan Purim itu sendiri (Ester 9:22).

Dari antara keempat tradisi tersebut, tradisi mishloakh manot (pemberian bingkisan berupa makanan dan minuman) menjadi tradisi yang paling menonjol dalam perayaan Purim.

Berdasarkan halakha (kumpulan hukum Yahudi), setiap orang Yahudi yang telah berumur di atas bar atau bath mitswa (di atas 12 atau 13 tahun), wajib mengirimkan dua jenis berbeda makanan siap makan kepada seorang temannya, serta dua bentuk amal (baik uang maupun makanan) kepada dua orang miskin.

Di dalam halakha, disebutkan beberapa aturan pokok mengenai tradisi mishloakh manot, antara lain:

1. Mishloakh manot haruslah dilakukan selama matahari masih bersinar di hari Purim, lebih baik setelah pembacaan kitab Ester;

2. Jika kita memiliki anak-anak, pastikan juga bahwa mereka mengirimkan misloakh manot kepada teman-teman mereka. Hal ini sangat menyenangkan dan sekaligus merupakan cara kita melatih mereka sejak dini;

3. Secara tradisi, misloakh manot dikirimkan melalui orang ketiga. Anak-anak kecil merupakan utusan yang sangat antusias. Juga, kita dihimbau untuk memberikan sesuatu yang menyenangkan kepada anak-anak yang mengantarkan mishloakh manot ke rumah kita, dan ingatkan mereka untuk mengucapkan doa berkat;

4. Untuk alasan kesopanan, laki-laki haruslah mengirimkan mishloakh manot kepada teman laki-lakinya, demikian juga perempuan mengirimkan kepada teman perempuannya. Aturan ini cukup kontras dengan tradisi di Hari Valentine. Bisa juga, satu keluarga mengirimkan kepada keluarga yang lain;

5. Tidaklah wajib untuk mengirimkan mishloakh manot kepada mereka yang sedang berduka. Meski demikian, dalam hari raya Purim, orang-orang yang berduka harus diberi penghiburan. Karenanya, ada semboyan dalam hari raya Purim dimana “tidak boleh ada satu orang pun dalam satu kota yang merasakan kesedihan di hari raya Purim.”

6. Meskipun secara hukum kita diwajibkan mengirimkan mishloakh manot hanya kepada satu orang, namun, orang yang memberikan mishloakh manot kepada lebih dari satu orang disebut “orang yang sangat diberkati.”

7. Mishloakh manot haruslah berisi makanan yang layak dimakan (kosher).

Masih banyak aturan lain mengenai mishloakh manot dalam hari raya Purim. Tetapi, intinya tradisi ini sangatlah baik untuk diterapkan dalam konteks kekristenan. Bayangkan saja, jika dalam satu kota terdapat 100 orang Kristen, maka, jika setiap satu orang Kristen memberi makan dua orang miskin dalam sehari, akan ada 200 orang miskin yang mendapatkan makanan secara cuma-cuma pada hari itu. Suatu tradisi yang baik, bukan?

Dengan cara ini, “kasih” yang menjadi inti dari pemberitaan Yesus, bahkan inti dari isi Alkitab, benar-benar dapat direalisasikan, tidak sekedar menjadi slogan yang kosong.

Ciptaan Baru

Istilah “ciptaan baru” adalah terjemahan dari istilah Yunani “kainê ktisis.” Istilah ini hanya ditemukan dalam surat-surat Rasul Paulus, yaitu dalam 2Korintus 5:17 dan Galatia 6:15. Meski demikian, istilah “ciptaan baru” bukanlah istilah yang pertama kali digunakan oleh Rasul Paulus.

Istilah ini adalah istilah yang lazim digunakan oleh orang-orang Yahudi. Dalam Bahasa Ibrani, istilah yang digunakan oleh guru-guru agama Yahudi adalah “beri’a khadasa,” yang biasanya digunakan untuk menyebut orang-orang yang menjadi Yahudi.

Bagi orang-orang non-Yahudi, yang merupakan kelompok Kristen mayoritas di Korintus dan Galatia, istilah “ciptaan baru” tentulah merupakan istilah yang baru bagi mereka. Mereka tidak pernah mengenal istilah ini, bahkan dalam filosofi Yunani. Namun, Paulus mencoba menarik benang merah antara apa yang dipahami oleh orang-orang Yahudi tentang “ciptaan baru” dengan teologinya yang sedang ia kembangkan.

Jika orang-orang Yahudi mengaitkan “ciptaan baru” dengan proses konversi iman menjadi Yahudi, maka Paulus juga mengarahkan istilah “ciptaan baru” itu kepada proses konversi iman menjadi Kristen. Karena itu, baik dalam suratnya kepada Jemaat Korintus maupun Galatia, Paulus menghubungkan istilah “ciptaan baru” ini dengan kehidupan di dalam Kristus: “Siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru” (2Korintus 5:17).

Mengenai pemilihan kata, Paulus menggunakan kata “kainê” dalam Bahasa Yunani. Kata kainê ini adalah kata sifat yang berasal dari kata kainos. Dalam Bahasa Yunani, ada dua kata yang diterjemahkan “baru,” yaitu kata neos dan kainos.

Neos berbicara tentang “baru berdasarkan waktu,” tanpa waktu, tidak ada neos. Sesuatu yang sudah tua atau berasal dari masa lalu tidaklah mungkin diubah menjadi neos lagi. Misalkan, jika kita punya mobil tua dan kita mengecatnya kembali dengan warna baru serta membersihkannya hingga kelihatan baru, maka sesungguhnya mobil itu bukanlah mobil neos, sebab secara usia, mobil itu tetaplah mobil tua.

Jadi, tidak ada sesuatu yang lama yang dapat di-neos-kan.

Berbeda dengan neos, kata kainos, yang digunakan oleh Paulus untuk menyebut “ciptaan baru”, berbicara tentang “baru berdasarkan kualitas.” Artinya, perubahan atau pembaruan yang dibicarakan Paulus bukanlah dengan jalan mengganti total diri kita, melainkan lebih tepat diartikan membersihkan jiwa kita hingga karakter kita diubahkan menjadi karakter yang baru.

Dengan demikian, menjadi “ciptaan baru” bukanlah berbicara tentang sesuatu yang akan datang. Menjadi “ciptaan baru” bukanlah mengenakan tubuh yang baru, melainkan tetap dengan tubuh kita sekarang. Hanya saja, jiwa kita dan karakter kita benar-benar baru.

Itulah sebabnya, dalam 2Korintus 5:17, Paulus menggunakan kalimat dalam bentuk sekarang, bukan bentuk yang akan datang. Paulus berkata, “siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru.” Paulus tidak berkata, “siapa yang ada di dalam Kristus, ia akan menjadi ciptaan baru.”

Untuk menjadi “ciptaan baru,” pertama-tama kita harus ada “di dalam Kristus.” Inilah kunci pemikiran Paulus. Dalam surat-suratnya, Paulus berkali-kali menekankan frase “di dalam Kristus” (en Khristos). Sebab, bagi Paulus, perubahan hidup menjadi hidup yang benar-benar kainos, tidaklah mungkin terjadi jika kita berada “di luar Kristus.” Sebaliknya, orang yang ada “di dalam Kristus,” dengan sendirinya akan terus-menerus dituntut untuk mengalami peng-kainos-an hidup. []

* ditulis untuk Majalah SUKA

Yunus: Change of Spirit


Kitab Yunus bagi umumnya ahli Perjanjian Lama diduga tidaklah menceritakan riwayat Yunus yang sebenarnya, melainkan hanyalah merupakan kitab perumpamaan dengan mengangkat figur Yunus sebagai tokoh sentralnya.

Dalam Bahasa Ibrani, nama Yunus berarti “burung merpati.” Bagi orang Yahudi, burung merpati merupakan simbol ketulusan dan kesetiaan. Hal ini dikarenakan karakter burung merpati yang setia dengan pasangannya.

Namun, cerita Yunus dalam Kitab Yunus sangatlah berlawanan dengan karakter burung merpati. Yunus digambarkan sebagai nabi yang tidak suka dengan cara TUHAN memandang bangsa Asyur, dalam hal ini diwakili oleh kota Niniwe.

Kota Niniwe adalah salah satu kota penting di Kerajaan Asyur kuno. Pada masa kini, kota Niniwe diperkirakan berada di Mosul, Irak. Kota padat penduduk ini diperkirakan didirikan oleh Nimrod pada sekitar tahun 1800 SM (Kejadian 10:8-12) dan baru bisa ditaklukkan oleh musuh pada tahun 612 SM.

Menurut naskah-naskah kuno yang pernah ditemukan, kota Niniwe adalah pusat penyembahan dewi Ishtar. Kota ini memiliki kebudayaan yang sangat maju, terbukti dengan ditemukannya berbagai naskah kuno dan reruntuhan bangunan-bangunan kuno, di antaranya 18 kanal yang pernah dibangun di Niniwe.

Dari segi politik, Niniwe dan juga Asyur merupakan lawan tangguh Israel. Mereka berkali-kali melakukan serangan terhadap Israel dan ini dianggap sebagai pelecehan terhadap umat TUHAN. Itulah sebabnya, keinginan TUHAN untuk melawat bangsa ini diprotes oleh Yunus. Yunus tidak setuju jika kabar keselamatan diwartakan kepada bangsa yang terang-terangan melawan umat TUHAN.

Melihat ulah Yunus, TUHAN menegurnya. Cara menegur Yunus pun dilakukan dengan cara yang unik. Pertama-tama ia harus ditelan oleh ikan besar (dag gadol), selanjutnya ia ditegur dengan pohon jarak (qiqayon).

Teguran TUHAN kepada Yunus menjadi sindiran terhadap keberagamaan Israel. Melalui cerita Yunus, umat Israel (dan kita sebagai pembaca) diminta untuk mengubah spirit keberagamaan kita, dari eksklusivitas yang buta (fanatik) menjadi inklusif. Sebab, penganugerahan gelar “umat pilihan” bukanlah suatu bentuk pemberian superioritas, melainkan lebih sebagai pemberian tanggung jawab untuk mewartakan keselamatan kepada siapapun, tanpa pandang bulu.

Pertanyaan TUHAN dalam Yunus 4:10-11 seharusnya menyentuh relung keberagamaan kita, “Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak AKU (TUHAN) akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri...?” []

* ditulis untuk Majalah SUKA

Lucifer itu Baik


Who is Lucifer?

Dalam Bahasa Latin, Lucifer berasal dari kata lucis artinya "terang atau sinar atau cahaya" dan ferre artinya "membawa"

Jadi, Lucifer artinya "pembawa terang" atau "pembawa sinar" atau "pembawa cahaya"

Sang Bintang Pagi yang juga disebut Bintang Timur.

Kenapa kita berpandangan bahwa Lucifer itu adalah setan???

Lagi-lagi dogma yang harus diluruskan! Menurutku sih Lucifer bukan malaikat yang menjadi setan, tapi manusia yang membuat Lucifer jadi setan heheee

Ini hasil "olahan" para teolog Kristen mula-mula yang berangkat dari legenda Yahudi tentang Samael, sang pemimpin malaikat, yang kemudian disebut "Malaikat Maut"

Menurut legenda Yahudi, Samael dulunya adalah pemimpin Langit Kelima yang memiliki dua juta anak buah, semuanya malaikat. Ia tinggal di Langit Ketujuh dan dia termasuk dalam tujuh pengawas dunia.

Dalam legenda Yahudi tentang Adam dan Hawa diceritakan bahwa ada malaikat penghianat yang menggoda Hawa. Nama malaikat itu adalah Gadreel, tapi menurut sebagian penafsir Yahudi, Gadreel adalah Samael. Kata "lucifer" dipake untuk menerjemahkan kata "Bintang Timur" (Ibrani: helel) dalam Yes. 14:12 di dalam Alkitab Vulgata (Bahasa Latin).

Tapi sebenarnya bukan hanya di Yes. 14:12 terdapat kata "lucifer" dalam Vulgata

Dalam 2Petrus 1:19 juga terdapat kata "lucifer"

2Petrus 1:19 versi Vulgata: "et habemus firmiorem propheticum sermonem cui bene facitis adtendentes quasi lucernae lucenti in caliginoso loco donec dies inlucescat et lucifer oriatur in cordibus vestris"

[TB-LAI: "Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu."]

Juga di Ayub 11:17

"et quasi meridianus fulgor consurget tibi ad vesperam et cum te consumptum putaveris orieris ut lucifer"

[TB-LAI: "Kehidupanmu akan menjadi lebih cemerlang dari pada siang hari, kegelapan akan menjadi terang seperti pagi hari"]

Lihat dua ayat itu, kata "lucifer" justru digunakan dalam makna positif dalam teks Vulgata. Hanya dalam Yes. 14:12 saja digunakan dalam makna negatif, itu pun sebenarnya berisi teguran terhadap raja Babel (Yes. 14:4) bukan tentang setan, iblis atau anti-Kris.

Azazel

Azazel itu adalah sosok misterius dalam literatur-literatur Yahudi. Dia selalu dihubungkan dengan ritual Yom Kippur (Hari Pendamaian) sebagaimana naskah Imamat 16 yang Bro Lucky kutip.

Dia diyakini sebagai kekuatan jahat yang paling kuat yang turun dari pegunungan, tapi tidak ada teks yang menghubungkan dia dengan Lucifer.

Kalau saya berkesimpulan, iblis yang bernama Lucifer itu tidak ada.

Lucifer itu hanya di-"ada-ada"-kan saja dalam dogma klasik gereja, dan bertambah besar ketika KJV mempertahankan teks Vulgata untuk kata Lucifer ini. Padahal, dalam Yes. 14:12 sudah jelas-jelas bahwa yang dimaksud sebagai "Lucifer" (Ibrani: helel) bukanlah iblis atau malaikat jahat, tapi "raja Babel" (lihat Yes. 14:4).

Jadi, Lucifer adalah simbol untuk raja Babel, bukan simbol untuk Iblis.

Karena itu, gak usah dibanding-bandingkan dengan nama-nama penghulu malaikat yang dipercaya dalam legenda Yahudi. Terlalu berlebihan menyandingkan Lucifer dengan penghulu malaikat.

Lucifer dapat digunakan untuk makna positif seperti dalam 2Petrus 1:19 "Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan lucifer terbit bersinar di dalam hatimu" []

* catatan ringan diskusi di milis GETT

Perang dalam Kekristenan

Militarisme

Adanya kepercayaan bahwa gereja adalah Laskar Kristus secara harafiah, dengan demikian penggunaan kekuatan penuh terhadap orang-orang yang tidak percaya menjadi salah satu syarat untuk menjadi pengikut Yesus. Tujuannya adalah menciptakan dunia ini menjadi tempat bagi Kekristenan.

Teori ini tidak berkembang dengan baik.

Pasifisme

Seorang pasifis meyakini bahwa Tuhan mengutuk perang dengan alasan apapun selama Ia belum mengumpulkan malaikat-Nya untuk menjalankan eksekusi.

Dasar konsep ini adalah Mat. 5:38-39, 43-45. Kalangan pasifis mengatakan bahwa pembalasan itu menjadi hak Tuhan bukan anak-anak-Nya.

Banyak kalangan pasifis menggunakan khotbah di bukit untuk membangun semangat anti-kekerasan. Semangat tanpa resistensi dan tanpa kekerasan ini telah dicontohkan oleh Yesus sendiri, dan inilah yang menjadi jalan salib yang harus ditempuh oleh setiap orang percaya.

Kekerasan secara absolut adalah suatu bentuk inkonsistensi terhadap Hukum Kasih. Myron Augsberger bertanya, “Bagaimana mungkin kita membunuh orang lain yang untuknya Yesus telah mati?”

Dalam pandangan ini dikatakan bahwa lebih baik kita menderita daripada menyebabkan orang lain menderita, sebagaimana Yesus lebih memilih mati di kayu salib daripada memerintahkan pengikut-pengikut-Nya untuk angkat senjata.

Lebih jauh kekerasan adalah hasil dari penyembahan berhala, sebagaimana Stanley Hauerwas mengatakan bahwa ada dosa kita yang tersisip pada benda-benda yang membutuhkan penggunaan kekerasan untuk mempertahankannya.

Teori ini berkembang selama 2 abad hingga adanya konversi Konstantinus. Sejak Konstantinus menjadi Kristen, banyak orang Kristen mengabdikan diri sebagai tentara.

Teori “Just War”

Teori ini merupakan teori yang paling populer, yang mengatakan bahwa ada kesempatan-kesempatan tertentu dimana perang itu dijustifikasi sejauh aturan-aturannya diikuti. Aturan-aturan itu ditulis pertama kali oleh Augustinus sekitar tahun 400 M. Ia mengatakan bahwa perdamaian tidak diupayakan dalam rangka membangkitkan perang, tapi perang dikumandangkan dalam rangka mencapai perdamaian.

Teori just war berangkat dari pendekatan “hukum alami moralitas”, dimana menurut hukum ini, semua orang mengetahui bahwa beberapa bagian dari tingkah laku adalah tak bermoral, tidak respektif terhadap loyalitas agamanya.

Prinsipnya bahwa keadilanlah yang harus membimbing manusia. Tetapi bukan hanya keadilan, kasih pun harus menjadi motif perang.

Ada beberapa alasan perang itu dijustifikasi:

1. Just war harus memiliki just cause. Perang hanya diizinkan untuk menahan agresi dan membela para korban, bukan untuk melakukan agresi

2. Just war harus memiliki just intent. Mempertahankan keadilan adalah satu-satunya motif yang diterima

3. Just war haruslah menjadi upaya terakhir. Artinya segala bentuk resolusi telah gagal atau ditolak

4. Just war haruslah memiliki legitimasi otoritas. Dalam kasus AS, haruslah seizin Kongres.

5. Just war haruslah memiliki batas atau tujuan-tujuan yang harus dicapai. Pembantaian musuh atau penghancuran total terhadap suatu peradaban tidak dibenarkan

6. Just war haruslah proporsional. Pencapaian yang baik haruslah ada jaminan hidup

7. Just war harus menyediakan kekebalan terhadap pertempuran. Perang tidak boleh ditujukan kepada warga sipil tapi harus meminimalisasi jatuhnya korban sipil.

Teori just war ditarik kembali ke pengajaran Perjanjian Lama dan pengajaran etika Yunani dan Romawi. Inti-inti ajaran itu kemudian dikristenkan oleh Augustinus dan disistematisasikan oleh Thomas Aquinas pada abad ke-13, yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Fransisco de Vitoria pada abad ke-16. Konsep ini kemudian disahkan oleh tokoh-tokoh Reformasi. Konsep ini dipertahankan oleh mayoritas Katolik Roma dan Protestan sampai saat ini.

Realisme Kristen

Pandangan ini dikemukakan oleh Reinhold Niebuhr.

Prinsip-prinsip dari pandangan ini adalah:

1. Manusia adalah berdosa - tidak ada bagian dari manusia yang bebas dari sentuhan dosa.

2. Perang adalah iblis - perang selalu merupakan dampak dari dosa manusia.

3. Perang mungkin saja dibutuhkan - untuk menghadapi iblis yang lebih besar.

Niebuhr mengatakan bahwa pandangan pasifis keliru, sebab kita kadang kala membutuhkan kekerasan untuk melawan musuh kita.

Dampaknya bahwa perang itu kadang kala dibutuhkan, tapi bukan berarti perang itu bukan dosa. Perang, sekalipun dilakukan dengan terpaksa, tetaplah merupakan perbuatan dosa. []

Nama YHWH

Asal nama YHWH merupakan polemik yang cukup panjang di kalangan para teolog. Von Bohlen dalam bukunya berjudul Genesis mengatakan bahwa nama Yahweh diadopsi oleh orang Yahudi dari bangsa Kanaan. Pendapat von Bohlen ini didukung oleh Von der Alm (Theol. Briefe, I, 1862, hlm. 524-527), Colenso (The Pentateuch, V, 1865, hlm. 269-284), dan Goldziher (Der Mythus bei den Hebräern, 1867, hlm. 327). Namun, kemudian ditentang oleh Kuenen (“De Godsdienst van Israel”, I, Haarlem, 1869, hlm. 379-401) dan Baudissin (Studien, I, hlm. 213-218). Alasannya sangat sederhana bahwa mustahil nama ilah sebuah bangsa yang menjadi musuh bebuyutan kemudian diadopsi menjadi nama yang sangat mendominasi Yudaisme kemudian.

Vatke (Die Religion des Alten Test., 1835, hlm. 672) dan J.G. Müller (Die Semiten in ihrem Verhältniss zu Chamiten und Japhetiten, 1872, hlm. 163) kemudian memberi pendapat yang berbeda. Keduanya berpendapat bahwa nama Yahweh berasal dari Indo-Eropa (Dyaus). Pendapat ini tidak dapat diterima oleh banyak pakar dan dianggap merupakan suatu bentuk pemaksaan istilah.

Pendapat yang kemudian banyak dipegang adalah bahwa nama Yahweh berasal dari Mesir. Pendapat ini banyak didukung oleh para sarjana sebab Musa sendiri merupakan seorang pemimpin Ibrani yang tumbuh dan dididik di Mesir. Namun, argumen-argumen yang diberikan masih banyak diragukan:

· Röth (Die Aegypt. und die Zoroastr. Glaubenslehre, 1846, hlm. 175) mengatakan bahwa nama itu berakar dari nama dewa bulan Mesir Ih atau Ioh.
Pierret (
“Vocabul. Hiérogl.”, 1875, hlm. 44) menolak argumen ini dengan mengatakan bahwa tidak ada hubungannya antara dewa bulan Mesir dengan Yahweh Ibrani.

· Plutarch (De Iside, 9) mencoba membuktikan dengan ditemukannya sebuah patung Athene (Neith) di Sais dimana terdapat sebuah inskripsi bertuliskan “Aku adalah segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan ada.” Argumen ini pun dibantah oleh Tholuck (Vermischte Schriften, I, hlm. 189-205). Menurut Tholuck, arti dari inskripsi tersebut berbeda dengan arti nama Yahweh.

· Kalimat kuno Mesir, “nuk pa nuk” juga dijadikan argumen karena memiliki kemiripan dengan kalimat “ehye asher ehye” dalam Bahasa Ibrani. Namun, argumen ini juga dianggap lemah sebab menurut Le Page Renouf (Hibbert Lectures for 1879, hlm. 244), istilah nuk pa nuk sebenarnya berarti “Ini adalah aku yang...”

Pendapat lain yang juga dibantah adalah pendapat bahwa nama YHWH berasal dari Kaldea atau Akkadian:

· Menurut Delitzsch (“Wo lag das Paradies”, 1881, hlm. 158-164), Yahweh dikatakan merupakan nama penting dewa nasional. Nama dewa itu adalah Yahu atau Yah, dimana huruf i menjadi elemen penting pada nama itu. Pendapat ini disangkal dengan alasan bahwa Yah hanyalah sebuah nama puitis bagi Yahweh dalam alkitab, sementara Yahu tidak pernah muncul dalam Alkitab. Kata Yahu justru muncul dalam inskripsi Mesa (baris 18) yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 SM.

· Yahu dan Yah sangat dikenal di luar Israel, sehingga ada dugaan bahwa nama Yahweh diadopsi dari kedua nama itu. Menurut Schrader (“Bibl. Bl.”, II, p. 42, 56), Sargon (“Cylinder”, xxv) dan Keil (“Fastes”, I. 33), variasi nama Raja Hammath menunjukkan bahwa Ilu sama dengan Yau, dan bahwa Yau adalah nama dewa. Pembuktian ini sulit diterima sebab nama-nama asing yang mengandung nama dewa itu sangat diragukan, apalagi menggunakan nama dewa dianggap pelecehan bagi kebanyakan bangsa asing.

· Delitzsch (“Lesestücke”, 3rd ed., 1885, hlm. 42) dan Syllab (A, col. I, 13-16) kemudian mengatakan bahwa di antara masyarakat Babilonia pra-Semitik, i merupakan singkatan dari Ilu, dewa tertinggi. Pada periode Assyria menjadi Yau. Hommel (Altisrael. Ueberlieferung, 1897, hlm. 144, 225) sangat yakin dengan argumen ini dan mengatakan bahwa Yau adalah dewa yang mewakili ideografis (ilu) A-a, tapi diucapkan Malik, yang merupakan bentuk ekspresi yang seharusnya dibaca Ai atau Ia (Ya). Para bapak leluhur mengembangkan nama ini dan Musa meminjam kemudian mentransformasikan nama itu menjadi Yahweh. Pendapat ini dibantah oleh Lagrange (Religion semitique, 1905, hlm. 100 dyb). Ia menggarisbawahi bahwa orang-orang Yahudi tidak percaya bahwa mereka menyerahkan anaknya kepada Yahweh sama seperti menyerahkan kepada Malik. Yer. 32:35 dan Sof. 1:5 dengan tegas membedakan antara Malik dengan Allah Ibrani.

Pandangan bahwa nama YHWH murni berasal dari tradisi Ibrani merupakan pandangan yang dianggap paling memuaskan. Para ahli, seperti Nicholas Lyra, Tostatus, Cajetan, Bonfrère, dsb, menjadikan Kel. 6:2-8 sebagai dasar pemikiran mereka. Menurut mereka, nama YHWH pertama kali digunakan oleh Musa di Gunung Horeb.

Pendapat ini diragukan oleh Robion (“la Science cathol.”, 1888, hlm. 618-24), Delattre, van Kasteren, dan Robert (“Revue biblique”, 1894, pp. 161-81). Menurut mereka, frase “belum menyatakan diri” dalam Kel. 6:3 bukan berarti bahwa nama itu belum digunakan. Maksud ayat tersebut bahwa YHWH belum menyatakan makna dari nama itu kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Kepada Musalah makna nama itu dinyatakan.

Ada dugaan bahwa nama YHWH telah muncul jauh sebelum Musa namun dalam bentuk yang berbeda. Di Gunung Horeblah bentuk akuratnya menjadi jelas.

· Kej. 4:26 mengatakan bahwa manusia mulai memanggil nama YHWH pada periode Enos.

· Yokhebed, ibu Musa, menggunakan singkatan Yo dari YHWH.

· Ada 163 nama diri yang menggunakan elemen nama YHWH dalam komposisi nama mereka, 48 menggunakan yeho atau yo di awal nama, sementara 115 menggunakan yahu atau yah di akhir nama mereka, sedangkan bentuk Yahweh tidak ditemukan sama sekali. Karena itu, ada dugaan bahwa bentuk Yeho, Yo, Yahu, dan Yah adalah nama ilahi yang pernah eksis di kalangan Israel sebelum bentuk YHWH itu muncul.

Kel. 6:2-8 kemungkinan merupakan jawaban Allah atas pergumulan Musa dalam Kel. 3:13. Persoalannya, dalam Kel. 3:14 dan 15, Allah memperkenalkan diri dengan tiga nama penting untuk satu pertanyaan Musa “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? --apakah yang harus kujawab kepada mereka?”:

1. `HYH `SHR `HYH (אהיה אשׁר אהיה) diterjemahkan “AKU ADALAH AKU” (ehye asher ehye) merupakan jawaban Allah pertama ketika Musa menanyakan nama-Nya. Bentuk kalimat ini tidaklah sempurna, secara harafiah berarti “ADA/BERADA/ADALAH (ehye) YANG/YAITU/SEBAB (asher) ADA/BERADA/ADALAH (ehye).” Hanya beberapa ahli yang mengakui bahwa itu adalah nama Allah yang sebenarnya.

2. `HYH (אהיה) diterjemahkan “AKULAH AKU” (ehye), bentuknya sama dengan yang pertama, semestinya berarti “ADA/BERADA/ADALAH.” Kata `HYH muncul sebanyak 1961 kali dalam PL dan diterjemahkan “AKU ADALAH” hanya dalam Kel. 3:14 ini, karenanya terkesan dipaksakan untuk diterjemahkan.

3. YHWH (יהוה) muncul sebanyak 5000 kali dalam PL dan tidak pernah diterjemahkan. Tradisi Ibrani menolak untuk menyebutkan nama suci ini, sehingga ketika Bahasa Ibrani tidak lagi menjadi lingua franca, cara penyebutan YHWH pun dilupakan. Kaum Masoret pernah mencoba memasukkan vokal Adonai ke dalam YHWH sehingga muncul penyebutan Yahowah, namun model ini tidak banyak digunakan. Bapak-bapak gereja sendiri berbeda pendapat mengenai penyebutan tersebut, setidaknya ada sebelas bentuk yang bisa dikemukakan:

- Diodorus Siculus menulis Yao (I, 94);

- Irenaeus (“Adv. Haer.”, II, xxxv, 3, dalam P. G., VII, kol. 840), Yaoth;

- Kelompok Valentinian (Ir., “Adv. Haer.”, I, iv, 1, dalam P.G., VII, kol. 481), Yao;

- Clement dari Aleksandria (“Strom.”, V, 6, dalam P.G., IX, kol. 60), Yaou;

- Origenes (“in Joh.”, II, 1, dalam P.G., XIV, kol. 105), Yao;

- Porfyrus (Eus., “Praep. evang”, I, ix, dalam P.G., XXI, kol. 72), Yeuo;

- Epifanius (“Adv. Haer.”, I, iii, 40, dalam P.G., XLI, kol. 685), Ya atau Yabe;

- Pseudo-Yerome (“Breviarium in Pss.”, dalam P.L., XXVI, 828), Yaho;

- Kaum Samaritan (Theodoret, dalam “Ex. quaest.”, xv, dalam P. G., LXXX, kol. 244), Yabe;

- James dari Edessa (band. Lamy, “La science catholique”, 1891, hlm. 196), Yehyeh;

- Yerome (“Ep. xxv ad Marcell.”, dalam P. L., XXII, kol. 429) menolak mereka yang menulis nama ilahi dengan penulisan II I II I.

Kaum Samaritan yang menyebut Yabe dianggap mendekati keasliannya sehingga vokalnya kemudian diambil dan muncullah Yahweh yang banyak digunakan sampai sekarang.

Upaya melacak kembali penyebutan nama YHWH merupakan upaya yang sudah lama berkembang baik di kalangan Yahudi maupun di kalangan Kristen. Banyak sarjana tidak lagi mempersoalkan hal ini dan lebih memilih untuk bertahan dengan sebutan Yahweh. Sebagian lagi menggunakan YHWH tanpa memasukkan vokal. Umumnya justru mengikuti tradisi Yahudi yang tidak menyebutkan nama itu bahkan tidak menyalinnya ke dalam bentuk lain (tetap mempertahankannya dalam teks Ibrani).

Para teolog kontemporer justru memilih untuk melihat esensi nama itu tanpa mempersoalkan penyebutan dan penulisannya. Menurut Robion, Delattre, van Kasteren, dan Robert makna penting di balik nama YHWH itu dapat dilihat dalam Kel. 6:2-8, dimana Allah dengan tegas menyatakan esensi dari nama itu. Menurut mereka, pada zaman para leluhur, Allah telah menyatakan diri sebagai Allah Yang Maha Kuasa, Allah Yang Maha Tinggi, Elohim Tseva’oth (Allah Bala Tentara/Allah Yang Perkasa), maka kepada Musa, Allah menyatakan diri sebagai Allah Perjanjian, Allah yang senantiasa memegang janji-Nya, baik janji kepada para leluhur (Abraham, Ishak, dan Yakub), janji kepada Musa, maupun janji kepada keturunannya atau janji kepada umat-Nya.

Furst (“Vet. Test. Concordantiae”, Leipzig, 1840) melacak dari akar kalimat `HYH `SHR `HYH (ehye asher ehye) dan menyebut bentuk ini sebagai forma participialis imperfectiva, artinya YHWH adalah bentuk imperfek dari kata kerja “ada” dalam Bahasa Ibrani yang secara esensi menyatakan YHWH sebagai Sang “Being”. Kaum skolastik mengartikan YHWH dalam makna yang lebih dalam dengan mengatakan bahwa YHWH hanya bisa didefinisikan dengan being, murni dan sederhana, tidak lebih dan tidak kurang; bukan being abstrak yang lazim bagi semuanya, dan karakteristik ketiadaan dalam partikular, melainkan being absolut, samudera segala being yang substansial, bebas dari segala kausa (penyebab), tidak mungkin berubah, melampaui segala batas waktu, sebab Ia tidak berbatas: “Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir,... yang Ada, telah Ada, dan akan Ada, Yang Maha Kuasa” [(Apoc., i, 8). band. St. Thomas, I, qu. xiii, a. 14; Franzelin, “De Deo Uno” (3rd ed., 1883, thesis XXIII, pp. 279-86)].

Intinya bahwa Allah telah menyatakan diri dalam banyak nama, masing-masing nama memiliki makna yang sangat esensial. Ia tidak terikat oleh sebuah nama sebab Ia tidak bisa dibatasi oleh apapun juga. Nama-nama Allah, selain mencerminkan makna yang esensial, juga menunjukkan karya Allah di dalam sejarah keselamatan manusia. Ia menyebut Elohim karena karya Kemahakuasaan-Nya, YHWH karena Kekekalan janji dan karya-Nya. Jadi, bukan komposisi huruf yang menyusun nama Allah yang penting, melainkan makna dibalik nama itu sendiri. []

Sakramentologi

Pengertian Sakramen

Kata “sakramen” berasal dari kata sacramentum (Lat.) yang digunakan untuk menerjemahkan kata musthrion (Yun.)[1] ke dalam teks Vulgata (Ef. 5:32; Kol. 1:27; 1Tim. 3:16; Why. 1:20; 17:7)[2]. Kata sacramentum pertama kali digunakan dalam literatur gereja oleh Tertullianus[3] yang merujuk pada banyak elemen dalam gereja (termasuk trinitas). Tertullianus juga menggunakan istilah ini untuk menyebut soal baptisan dan perjamuan kudus (eukaristi).

Awalnya, kata sacramentum merupakan istilah teknis dalam masyarakat Romawi yang berarti sumpah setia tentara Romawi kepada sang kaisar. Istilah ini kemudian berkembang menjadi istilah umum untuk sumpah apa saja dan kemudian diadopsi ke dalam lembaga keagamaan dengan makna “janji atau tanda.”[4]

Secara umum (bisa dikatakan sebagai definisi Kristen, baik Katolik maupun Protestan), “sakramen” didefinisikan sebagai “tanda lahiriah yang nampak, ditetapkan oleh Kristus, untuk menyatakan dan menjanjikan suatu berkat rohani.” Definisi ini dipengaruhi oleh pemikiran Augustinus (354-430) yang menyebut sakramen sebagai sacrum signum (tanda suci) atau verbum visibile (firman yang kelihatan).[5]

Kontroversi mengenai Sakramen

Kontroversi mengenai sakramen terutama terfokus pada jumlah sakramen juga lebih spesifik pada persoalan baptisan. Pada masa gereja mula-mula, hanya dikenal dua upacara khusus dalam gereja di samping Paskah[6], yaitu baptisan dan perjamuan kudus. Pada tahun 150 M, ada suatu upacara penting lainnya yang disebut “rekonsiliasi” (ditemukan dalam tulisan Hermas, 140-150). Tahun 200 M juga ditambah dengan “Urapan Minyak,” yang oleh Hippolytus (+ 215 M) lebih dikhususkan bagi orang sakit.

Pada tahun 400 M pernikahan mulai digagas untuk masuk dalam bagian sakramen, namun yang benar-benar menerima “pernikahan” sebagai bagian dari sakramen adalah Petrus Lombardus (1100-1160) pada tahun 1150. Sementara pada tahun 1000 juga muncul upacara “konfirmasi” di kalangan Gereja Barat.

Abad ke-11, gereja mengenal enam sakramen: baptisan, konfirmasi (di gereja Barat), eukaristi, penitentia (pengampunan dosa), pengurapan, dan ordinasi (pentahbisan). Baptisan dikaitkan dengan dosa asal, konfirmasi sebagai bentuk kesediaan menjadi laskar Kristus (Hinchmar, bishop Rheims), eukaristi dirunut kembali ke Perjamuan Akhir, dan ordinasi dilakukan bukan saja untuk imam dan diaken, tapi juga sub-diakonat dan fungsi-fungsi di bawahnya. Sementara, pengurapan, sejak reformasi Karolingian dibatasi untuk orang sakit dan orang yang meninggal sebagai tanda pengampunan dosa.

Pada masa Gregorius VII, jumlah sakramen menjadi lima, kemudian menjadi dua belas pada periode Petrus Damiani. Pada abad ke-12, Hugo dari Saint-Victor menyebut tiga puluh sakramen, sedangkan Gregorius dari Bergamo dan Petrus Lombardus pada periode yang sama menyebut tujuh sakramen (baptisan, eukaristi, konfirmasi, ordinasi, pernikahan, penitentia, dan pengurapan), yang kemudian diadopsi oleh Thomas Aquinas dan disahkan dalam Konsili Trente (1545-1563). Konsili Trente juga mengukuhkan doktrin trans-substansia dan ex opere operato (sakramen mencapai tujuannya jika pelaksanaannya benar).

Reformasi mula-mula (abad ke-16) membatasi sakramen menjadi tiga: baptisan, perjamuan kudus, dan pengampunan dosa, yang kemudian menjadi dua: baptisan dan perjamuan kudus. Reformasi juga menolak ex opere operato serta doktrin trans-substansia[7]. Menurut gereja reformasi, sakramen harus dipandang sebagai “ritus” yang berakar dalam “perintah Allah” (mandatum) dan disertai “janji.” Dengan kata lain, sakramen adalah ritus yang terjadi atas “perintah dan perjanjian” Allah.

Konfesi Augsburg IX menetapkan bahwa baptisan anak itu perlu (menentang pandangan Anabaptis)[8]. Konfesi Augsburg X menegaskan bahwa tubuh dan darah Kristus hadir dalam perjamuan kudus, sementara Konfesi Augsburg XIII menegaskan bahwa sakramen bukan hanya tanda kenal lahiriah, tapi juga “pertanda dan kesaksian akan kehendak Allah mengenai kita” (keduanya menentang Zwingli).

Rumusan Konkord VII, 5 dst menentang pendapat Calvinis yang mengatakan bahwa Kristus hadir hanya dengan kuasa (virtus) dan Roh (spiritus), sementara Rumusan Konkord VII, 22 dst dengan tegas menentang doktrin trans-substansia. Gereja Lutheran, melalui Katekismus Heidelberg menentang doktrin Katolik yang mengatakan bahwa sakramen lebih tinggi dari firman. Masih banyak kontroversi soal sakramen, khususnya menyangkut jumlah sakramen, baptisan anak, dan cara baptisan.

Baptisan dan Perjamuan Kudus

(Gereja) Kemah Abraham mengikuti pemikiran reformasi hanya menerima dua sakramen, yaitu baptisan dan perjamuan kudus. Baptisan diasosiasikan dengan tradisi PL, yaitu hukum pembasuhan Mosaik (Kel. 30:17-21; Im. 11:25).[9] Perjamuan Kudus juga diasosiakan dengan tradisi PL, yaitu perjamuan Paskah (Kel. 12;
Mrk. 14:1,2,12-16; Yoh. 13:21-30).[10] Dalam literatur gereja mula-mula, banyak naskah yang mendukung penyelenggaraan baptisan dan perjamuan kudus sebagai amanat Kristus, misalnya dalam kitab Didakhe, Surat Ignatius dari Antiokhia, Apology (Yustinus Martir), Epitaph (Abersius), dan Tradisi Rasuli (Hyppolitus), meskipun dokumen-dokumen itu tidak menggunakan istilah “sakramen.”

Baptisan merupakan tanda mengikatkan diri kepada Kristus (Kis. 19:5), identifikasi dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitannya menuju hidup baru (Rm. 6:3-5), menjadi anggota tubuh Kristus (1Kor. 12:13), dan berkat diterima melalui iman (Rm. 6:8-11). Maknanya sama dengan tanda pertobatan, pengampunan dosa, dan pembasuhan (Ibr. 10:22). Dengan demikian, baptisan dikaitkan erat dengan penyatuan dengan Kristus (epi to onwmati iesou xristou; Kis. 2:38) yang juga menyatukan kita dengan Kristus dalam karya Roh Kudus (Rm. 6:3-6).

Perjamuan kudus dikaitkan dengan pembebasan dari dosa sebagaimana Paskah dalam tradisi Yahudi yang memiliki simbol pembebasan dari tirani Mesir. Seorang yang mengambil bagian dalam Paskah ini harus menganggap diri sebagai seorang yang dibebaskan dari tirani Mesir yang dialaminya dulu (Mishna Pesakhim 10.5).
Roti merupakan simbol “roti penderitaan” yang dimakan leluhurnya (Ul. 16:3 menurut tafsiran Hagadah) sedangkan meja di lantai atas merupakan simbol umat perjanjian baru (Yer. 31:31, dst).

Bagi gereja, roti menjadi simbol tubuh Kristus dan anggur sebagai simbol darah Kristus. Perjamuan kudus juga menjadi simbol perjanjian baru (Luk. 22:20). Perjamuan Kudus tidak saja menjadi momen peringatan atas via dolorosa Kristus, melainkan juga sebagai simbol pembaharuan perjanjian Allah dengan manusia


[1] mustherion bagi masyarakat Yunani merupakan istilah keagamaan yang ditandai dengan menutup mulut. Karena itu, kata ini sering juga diartikan “rahasia” (misalnya oleh Plato)

[2] Namun, kata musthrion lebih lazim diterjemahkan dengan kata musterium dalam teks Vulgata lainnya

[3] Tertullianus adalah seorang teolog Kristen yang pertama kali menggunakan istilah-istilah gerejawi dalam bahasa Latin, termasuk kata trinitas, substantia, dan personae

[4] Sacramentum juga merupakan istilah untuk ikrar atau jaminan yang diberikan kepada “orang yang dipercaya mampu menjaga rahasia” oleh pihak-pihak yang terlibat dalam tuntutan hukum. Ikrar ini dikaitkan dengan maksud suci

[5] Augustinus dianggap sebagai teolog gereja yang pertama kali memiliki konsep yang jelas tentang teologi sakramental. Ia hanya menyebutkan dua bentuk sakramen, yaitu baptisan dan perjamuan kudus (eukaristi)

[6] Paskah masih menjadi perayaan khusus gereja mula-mula melanjutkan tradisi para Rasul yang merayakan Paskah bersama Yesus menjelang via dolorosa

[7] Doktrin trans-substansia, yang menyatakan bahwa roti dan anggur betul-betul diubah menjadi tubuh dan darah Kristus dalam eukaristis, dikukuhkan dalam Konsili Lateran IV (1215)

[8] Baptisan anak juga disebutkan oleh Irenaeus dan dianggap sebagai bukti oleh gereja-gereja reformasi

[9] Upacara pembasuhan dalam agama Yahudi sangat banyak, seperti pembasuhan tangan sebelum makan, pembasuhan masuk ke Bait Allah, dan baptisan proselit melalui upacara Mikweh (Yoh. 3:22-26; Luk. 11:38)

[10] Dalam literatur Yahudi, penafsiran tentang Paskah terdapat dalam Hagada Paskah juga dalam Mishna Pesakhim. Ditandai dengan bersandar pada meja (simbol pangkuan Abraham), pembagian dana orang miskin (Yoh. 13:29), dan penggunaan sepotong roti yang dicelupkan dalam kuah kharoset (simbol kepahitan perbudakan di Mesir). Perbedaan perhitungan Paskah Farisi (Sinoptik) dan Saduki dianggap sebagai penyebab perbedaan pandangan dalam Injil Sinoptik dan Injil Yohanes tentang perjamuan akhir dan kematian Yesus. Hal ini dibuktikan dengan Naskah Laut Mati. []