Kamis, 04 Juni 2009

Yunus: Change of Spirit


Kitab Yunus bagi umumnya ahli Perjanjian Lama diduga tidaklah menceritakan riwayat Yunus yang sebenarnya, melainkan hanyalah merupakan kitab perumpamaan dengan mengangkat figur Yunus sebagai tokoh sentralnya.

Dalam Bahasa Ibrani, nama Yunus berarti “burung merpati.” Bagi orang Yahudi, burung merpati merupakan simbol ketulusan dan kesetiaan. Hal ini dikarenakan karakter burung merpati yang setia dengan pasangannya.

Namun, cerita Yunus dalam Kitab Yunus sangatlah berlawanan dengan karakter burung merpati. Yunus digambarkan sebagai nabi yang tidak suka dengan cara TUHAN memandang bangsa Asyur, dalam hal ini diwakili oleh kota Niniwe.

Kota Niniwe adalah salah satu kota penting di Kerajaan Asyur kuno. Pada masa kini, kota Niniwe diperkirakan berada di Mosul, Irak. Kota padat penduduk ini diperkirakan didirikan oleh Nimrod pada sekitar tahun 1800 SM (Kejadian 10:8-12) dan baru bisa ditaklukkan oleh musuh pada tahun 612 SM.

Menurut naskah-naskah kuno yang pernah ditemukan, kota Niniwe adalah pusat penyembahan dewi Ishtar. Kota ini memiliki kebudayaan yang sangat maju, terbukti dengan ditemukannya berbagai naskah kuno dan reruntuhan bangunan-bangunan kuno, di antaranya 18 kanal yang pernah dibangun di Niniwe.

Dari segi politik, Niniwe dan juga Asyur merupakan lawan tangguh Israel. Mereka berkali-kali melakukan serangan terhadap Israel dan ini dianggap sebagai pelecehan terhadap umat TUHAN. Itulah sebabnya, keinginan TUHAN untuk melawat bangsa ini diprotes oleh Yunus. Yunus tidak setuju jika kabar keselamatan diwartakan kepada bangsa yang terang-terangan melawan umat TUHAN.

Melihat ulah Yunus, TUHAN menegurnya. Cara menegur Yunus pun dilakukan dengan cara yang unik. Pertama-tama ia harus ditelan oleh ikan besar (dag gadol), selanjutnya ia ditegur dengan pohon jarak (qiqayon).

Teguran TUHAN kepada Yunus menjadi sindiran terhadap keberagamaan Israel. Melalui cerita Yunus, umat Israel (dan kita sebagai pembaca) diminta untuk mengubah spirit keberagamaan kita, dari eksklusivitas yang buta (fanatik) menjadi inklusif. Sebab, penganugerahan gelar “umat pilihan” bukanlah suatu bentuk pemberian superioritas, melainkan lebih sebagai pemberian tanggung jawab untuk mewartakan keselamatan kepada siapapun, tanpa pandang bulu.

Pertanyaan TUHAN dalam Yunus 4:10-11 seharusnya menyentuh relung keberagamaan kita, “Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak AKU (TUHAN) akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri...?” []

* ditulis untuk Majalah SUKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar