Sabtu, 06 Juni 2009

Hukum Yang Terutama

Tiga Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) sama-sama bercerita tentang diskusi antara Yesus dan Ahli Taurat Farisi mengenai hukum yang terutama (Mat. 22:34-40; Mrk. 12:28-34; Luk. 10:25-28). Namun, hanya Matius yang berhenti pada jawaban Yesus tanpa menjelaskan bagaimana reaksi balik dari Ahli Taurat itu. Markus mengungkapkan bagaimana Yesus melihat kebijaksanaan dalam diri Ahli Taurat, sementara Lukas memberi narasi yang berbeda, dengan mengungkapkan bahwa jawaban itu justru datang dari si Ahli Taurat itu sendiri.

Saya tidak akan membahas perihal perbedaan sudut pandang antara ketiga penulis Injil tersebut dalam tulisan ini, melainkan akan memfokuskan pada perspektif Matius tentang diskusi tersebut, sekaligus melihat bagaimana Matius menafsirkan ucapan Yesus tentang “Hukum yang Terutama.”

Upaya Menjebak Yesus

Sama seperti Markus, Matius (ay. 34) melihat adanya kesinambungan antara narasi ini dengan bungkamnya orang Saduki (Tseduqim) setelah berdiskusi soal kebangkitan [Sebagai catatan bahwa Saduki merupakan mazhab Yahudi yang menolak adanya kebangkitan, malaikat dan roh, Kis. 23:8].

Bungkamnya orang-orang Saduki, yang merupakan mazhab yang banyak berseberangan dengan Farisi (Perushim), tidak membuat orang-orang Farisi kemudian tertarik untuk mengajak Yesus bergabung ke mazhab mereka agar kekuatan mereka untuk membungkam Farisi makin besar. Di sini, Matius sangat cermat menggambarkan keberadaan Farisi pada zaman Yesus, meskipun Yesus telah mengalahkan argumen Saduki soal kebangkitan, namun Yesus dianggap sebagai figur saingan dengan basis massa yang cukup kuat.

Membungkam Yesus merupakan cita-cita mereka, sebab dengan membungkam Yesus, maka mereka tidak saja memenangkan debat argumen dengan Saduki, yang telah dibungkam Yesus, tapi juga dapat mengambil alih massa Yesus.

Matius tampaknya sangat mengenal kelompok Farisi ini. Jika Markus mengatakan bahwa Ahli Taurat datang menemui Yesus dan kemudian mengajukan pertanyaan, maka bagi Matius, ada yang kurang dari tulisan Markus. Karakteristik Farisi adalah berkumpul terlebih dahulu (sunêkhthêsan epi to auto), membahas apa yang akan mereka lakukan. Setelah sepakat, mereka mengutus seorang Ahli Taurat untuk menemui Yesus (ay. 35).

Kedatangan Ahli Taurat itu pun bukan dengan maksud ingin belajar dari Yesus. Matius (dan juga Lukas) sadar betul bahwa pertanyaan mengenai hukum yang terutama, ditujukan untuk mencobai Yesus (band. Luk. 10:25) atau lebih tepat menjebak Yesus. Bagaimana mungkin seorang Ahli Taurat tidak mengetahui mana hukum atau mitswa yang terutama?

Kata mitswa, saya gunakan di sini karena sebenarnya kata mitswa, dalam bahasa Ibrani, atau kemudian diterjemahkan entolê dalam bahasa Yunani PB [bandingkan dalam Septuaginta (LXX) kata ini tidak sekedar diterjemahkan entolê tapi juga prostagma, “aturan atau amanat”], bukan sekedar berarti “hukum” tapi juga prinsip-prinsip, perintah, aturan, termasuk norma.

Tradisi Menyimpulkan Mitswa Taurat

Orang Yahudi pada zaman Yesus mengenal adanya 613 mitswa Taurat yang dianggap diberikan oleh Musa. Dari 613 mitswa tersebut, 248 bersifat perintah dan 365 lainnya merupakan larangan.

Dalam tradisi Yudaisme, tradisi menyimpulkan mitswa Taurat memang sudah biasa dilakukan, bahkan sebelum zaman Yesus. Tradisi ini telah menjadi metode favorit dalam pengajaran di kalangan Yahudi pada waktu itu. Daud pernah menyimpulkan 613 mitswa menjadi sebelas (Mzm. 15:2-5), Yesaya menjadi enam (Yes. 33:15), Mikah menjadi tiga (Mi. 6:8), Amos menjadi dua (Am. 5:4), dan Habakuk menjadi satu (Hab. 2:4). Rabi Akiba, yang menjadi martir pada tahun 135 M, mengatakan bahwa Im. 19:18 adalah mitswa yang terutama dari Hukum Taurat.

Yesus, menurut Matius dan Markus, menyimpulkan dengan mengambil dari dua teks Taurat, yaitu: Ul. 6:5 (ay. 37; Markus menyebut mulai dari Ul. 6:4, yang merupakan syahadat Yahudi atau yang dikenal dengan shema’) dan dari Im. 19:18 (ay. 39). Bagi Lukas, apa yang diucapkan Yesus itu sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan Ahli Taurat pada waktu itu, dan Yesus hanya mengikuti apa yang sudah lazim pada waktu itu (Luk. 10:27-28).

Yang Terutama Menurut Yesus

Matius memberikan bentuk yang berbeda mengenai cara Yesus menyimpulkan mitswa. Yang pertama dan terutama (protos kai megas) atau secara harafiah berarti “yang pertama dan yang terbesar” yaitu Ul. 6:5, mengasihi TUHAN dengan segenap hati (kardia), jiwa (psukhe), dan akal budi (dianoia) (ay. 37).

Mengasihi dengan hati (kardia) adalah mengasihi dengan perasaan dan pikiran. Contoh paling sederhana adalah ketika seorang pria mengasihi seorang wanita tatkala keduanya sedang “jatuh cinta.” Ada irama kasih yang unik dalam percintaan semacam ini, apalagi jika di dalamnya bergelora kerinduan untuk segera bertemu dengan sang pujaan hati.

Mengasihi semacam ini menuntut adanya eksploitasi perasaan terdalam kita, yang semuanya kita tujukan kepada Sang Pencipta.

Mengasihi dengan jiwa (psukhe) adalah mengasihi dengan kesadaran dan semangat atau roh. Mengungkapkan perasaan cinta dalam keadaan tidak sadar (misalnya mabuk atau mimpi) memang banyak dianggap sebagai luapan terdalam dari hati seseorang, namun, sulit sekali menemukan seorang wanita akan menerima lamaran seorang pria yang dalam keadaan mabuk. Karena itu, mengasihi dengan jiwa berarti ada dorongan dari dalam disertai kesadaran akan dorongan itu. Bukan sekedar gelora cinta sesaat yang sewaktu-waktu pudar ketika muncul kesadaran bahwa ternyata gelora itu semu.

Mengasihi dengan akal budi (dianoia). Ini agak berbeda dengan Ul. 6:5 yang dikutip Yesus. Dalam Ul. 6:5 dikatakan mengasihi dengan segenap kekuatan (me’od). Dalam naskah Septuaginta, kata me’od (kekuatan) diterjemahkan dunamis.

Tetapi kata me’od memang memiliki makna yang sangat luas. Kata me’od tidak sebatas berbicara salah satu dari dunamis (kekuatan) dan dianoia (akal budi), tetapi mencakup keduanya. Itulah sebabnya, dalam tulisan Markus dan Lukas, kata me’od diterjemahkan dianoia (akal budi) dan iskhus (kekuatan).

Karena percakapan ini adalah percakapan antara Yesus dengan orang Farisi, maka kemungkinan Yesus menyampaikan kalimat ini dalam Bahasa Ibrani atau Aram, tetapi kemudian para penulis Injil (Matius, Markus dan Lukas) mencoba menerjemahkannya ke dalam Bahasa Yunani.

Karena penekanan Matius adalah menyampaikan pribadi Yesus sebagai Guru Agung, maka Matius memilih menggunakan kata dianoia yang merujuk pada intelektual atau pikiran terdalam (sering juga diartikan pengertian). Artinya, mempersilakan segala kemampuan intelektual kita untuk mengetahui tentang TUHAN.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, semakin dalam kita mengenal seseorang, maka akan semakin banyak hal yang kita ketahui tentang orang itu. Segala karakter yang belum pernah kita lihat dari orang itu akan menjadi lebih jelas ketika kita terus mengenal lebih dalam.

Jika dalam pengenalan itu, kita semakin mengasihi orang itu, maka kasih yang tumbuh dari pengenalan itu adalah kasih yang sangat kuat. Bukankah banyak orang kehilangan kasih justru ketika ia makin mengenali yang ia kasihi?

Itulah sebabnya, kasih kepada TUHAN haruslah kasih terdalam, yaitu kasih yang muncul karena kita betul-betul mengenal-Nya lebih dalam. Bukan sekedar kasih karena kesan pertama atau kasih karena hal-hal yang kita anggap baik, yang dilakukan TUHAN dalam hidup kita. Melainkan kasih yang memaknai bahwa segala tindakan TUHAN dalam hidup kita adalah wujud dari kasih-NYA.

Yang kedua yang sama dengan itu (deuteros de homoia autê) yaitu Im. 19:18, mengasihi sesama (plêsion – orang di sekitar kita) seperti mengasihi diri sendiri (ay. 39). Penekanan penting di sini, yang ingin saya bahas, terletak pada kata homoia autê,yang sama dengan itu atau yang sejajar dengan itu.

Markus dan Lukas secara gamblang mengikuti pemahaman umum tentang mitswa yang terutama, tetapi Matius menafsirkan lebih jauh tentang ucapan Yesus. Ketika Yesus menyimpulkan mitswa itu, Yesus tidak kemudian memberikan pemisahan atau perbedaan konsekuensi antara hukum yang pertama dan yang kedua.

Dalam tradisi Yudaisme saat itu, hukum yang pertama dianggap lebih besar dari yang kedua. Karena itu, hujatan terhadap TUHAN konsekuensinya adalah mati, dan manusia diberi hak untuk mencabut nyawa si penghujat itu atas nama TUHAN. Itulah yang juga menggiring Yesus ke kayu salib. Ia dihukum dengan tuduhan menghujat TUHAN (Mat. 26:65-66).

Yesus melihat dari sisi humanis. Bahwa kasih kepada TUHAN dapat dimanifestasikan melalui kasih kepada sesama. Ketika seseorang kehilangan kasih terhadap sesama, bagaimana mungkin ia masih berani mengatakan bahwa ia mengasihi TUHAN yang menciptakan sesamanya? Itulah hukum atau mitswa yang terutama. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar