Kamis, 04 Juni 2009

Perang dalam Kekristenan

Militarisme

Adanya kepercayaan bahwa gereja adalah Laskar Kristus secara harafiah, dengan demikian penggunaan kekuatan penuh terhadap orang-orang yang tidak percaya menjadi salah satu syarat untuk menjadi pengikut Yesus. Tujuannya adalah menciptakan dunia ini menjadi tempat bagi Kekristenan.

Teori ini tidak berkembang dengan baik.

Pasifisme

Seorang pasifis meyakini bahwa Tuhan mengutuk perang dengan alasan apapun selama Ia belum mengumpulkan malaikat-Nya untuk menjalankan eksekusi.

Dasar konsep ini adalah Mat. 5:38-39, 43-45. Kalangan pasifis mengatakan bahwa pembalasan itu menjadi hak Tuhan bukan anak-anak-Nya.

Banyak kalangan pasifis menggunakan khotbah di bukit untuk membangun semangat anti-kekerasan. Semangat tanpa resistensi dan tanpa kekerasan ini telah dicontohkan oleh Yesus sendiri, dan inilah yang menjadi jalan salib yang harus ditempuh oleh setiap orang percaya.

Kekerasan secara absolut adalah suatu bentuk inkonsistensi terhadap Hukum Kasih. Myron Augsberger bertanya, “Bagaimana mungkin kita membunuh orang lain yang untuknya Yesus telah mati?”

Dalam pandangan ini dikatakan bahwa lebih baik kita menderita daripada menyebabkan orang lain menderita, sebagaimana Yesus lebih memilih mati di kayu salib daripada memerintahkan pengikut-pengikut-Nya untuk angkat senjata.

Lebih jauh kekerasan adalah hasil dari penyembahan berhala, sebagaimana Stanley Hauerwas mengatakan bahwa ada dosa kita yang tersisip pada benda-benda yang membutuhkan penggunaan kekerasan untuk mempertahankannya.

Teori ini berkembang selama 2 abad hingga adanya konversi Konstantinus. Sejak Konstantinus menjadi Kristen, banyak orang Kristen mengabdikan diri sebagai tentara.

Teori “Just War”

Teori ini merupakan teori yang paling populer, yang mengatakan bahwa ada kesempatan-kesempatan tertentu dimana perang itu dijustifikasi sejauh aturan-aturannya diikuti. Aturan-aturan itu ditulis pertama kali oleh Augustinus sekitar tahun 400 M. Ia mengatakan bahwa perdamaian tidak diupayakan dalam rangka membangkitkan perang, tapi perang dikumandangkan dalam rangka mencapai perdamaian.

Teori just war berangkat dari pendekatan “hukum alami moralitas”, dimana menurut hukum ini, semua orang mengetahui bahwa beberapa bagian dari tingkah laku adalah tak bermoral, tidak respektif terhadap loyalitas agamanya.

Prinsipnya bahwa keadilanlah yang harus membimbing manusia. Tetapi bukan hanya keadilan, kasih pun harus menjadi motif perang.

Ada beberapa alasan perang itu dijustifikasi:

1. Just war harus memiliki just cause. Perang hanya diizinkan untuk menahan agresi dan membela para korban, bukan untuk melakukan agresi

2. Just war harus memiliki just intent. Mempertahankan keadilan adalah satu-satunya motif yang diterima

3. Just war haruslah menjadi upaya terakhir. Artinya segala bentuk resolusi telah gagal atau ditolak

4. Just war haruslah memiliki legitimasi otoritas. Dalam kasus AS, haruslah seizin Kongres.

5. Just war haruslah memiliki batas atau tujuan-tujuan yang harus dicapai. Pembantaian musuh atau penghancuran total terhadap suatu peradaban tidak dibenarkan

6. Just war haruslah proporsional. Pencapaian yang baik haruslah ada jaminan hidup

7. Just war harus menyediakan kekebalan terhadap pertempuran. Perang tidak boleh ditujukan kepada warga sipil tapi harus meminimalisasi jatuhnya korban sipil.

Teori just war ditarik kembali ke pengajaran Perjanjian Lama dan pengajaran etika Yunani dan Romawi. Inti-inti ajaran itu kemudian dikristenkan oleh Augustinus dan disistematisasikan oleh Thomas Aquinas pada abad ke-13, yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Fransisco de Vitoria pada abad ke-16. Konsep ini kemudian disahkan oleh tokoh-tokoh Reformasi. Konsep ini dipertahankan oleh mayoritas Katolik Roma dan Protestan sampai saat ini.

Realisme Kristen

Pandangan ini dikemukakan oleh Reinhold Niebuhr.

Prinsip-prinsip dari pandangan ini adalah:

1. Manusia adalah berdosa - tidak ada bagian dari manusia yang bebas dari sentuhan dosa.

2. Perang adalah iblis - perang selalu merupakan dampak dari dosa manusia.

3. Perang mungkin saja dibutuhkan - untuk menghadapi iblis yang lebih besar.

Niebuhr mengatakan bahwa pandangan pasifis keliru, sebab kita kadang kala membutuhkan kekerasan untuk melawan musuh kita.

Dampaknya bahwa perang itu kadang kala dibutuhkan, tapi bukan berarti perang itu bukan dosa. Perang, sekalipun dilakukan dengan terpaksa, tetaplah merupakan perbuatan dosa. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar